SPI: Perpres Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria: Inkonstitusional dan Menyesatkan

photo author
- Rabu, 9 November 2022 | 10:00 WIB
pelaksanaan reforma agraria mengalami hambatan dengan kehadiran omnibus law UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya (pixabay)
pelaksanaan reforma agraria mengalami hambatan dengan kehadiran omnibus law UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya (pixabay)

“Setelah melalui berbagai tahapan persidangan dalam waktu satu tahun, pada tanggal 25 November 2021 MK memutuskan UU Cipta Kerja Cacat Formil dan Inkonstitusional Bersyarat".

Baca Juga: SPI: BBM Naik, Pemerintah Harus Mengambil Langkah-langkah Perbaikan Secara Komprehensif

"Amar putusan MK juga menyatakan bahwa tidak dibenarkan untuk mengambil tindakan atau kebijakan strategis dan berdampak luas, termasuk menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja"

"Hal ini merupakan kemenangan besar bagi para petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan. Putusan MK tersebut juga menjadi penanda bagaimana pemerintah tidak memiliki komitmen yang kuat, terhadap kepentingan-kepentingan rakyat banyak,” paparnya.

Sikap SPI terhadap Rancangan Perpres Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria

Henry melanjutkan, sebaliknya Rancangan Perpres Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria yang saat ini dibahas Kemenko Perekonomian justru dominan untuk mengakomodir kepentingan korporasi, bukan rakyat, petani kecil. Untuk itu, Henry menegaskan, ada beberapa poin yang jadi kritik keras SPI.

Baca Juga: SPI Apresiasi Perhatian Presiden Kepada Pengelolaan Minyak Makan Merah oleh Koperasi

“Pertama, situasi saat ini bukan untuk merevisi berbagai kelemahan Peraturan Presiden (Perpres) No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Melainkan Perpres reforma agraria patut diperbarui ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari perpres, yaitu peraturan pemerintah,” kata Henry.

“Kedua, SPI menolak revisi Perpres Percepatan reforma agraria karena berlandaskan UU Cipta Kerja dan PP 64/2021 tentang Bank Tanah yang melemahkan UUD 1945, Tap MPR IX/2001, UUPA 1960 dan Putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat,” lanjutnya.

“Ketiga, revisi Perpres Percepatan reforma agraria untuk Investasi. Batang tubuh Perpres lebih berpihak kepada korporasi dibandingkan petani dan rakyat yang mengalami konflik agraria. Hal ini dibuktikan dengan masih memberikan peluang perpanjangan hak dalam dua tahun setelah HGU/HGB/Hak Pakai berakhir. Jadi tidak otomatis menjadi tanah negara dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA),” sambungnya.

Baca Juga: SPI: Pemerintah Harus Berkomitmen Pada Kebijakan Berorientasi Kepentingan Rakyat, Bukan Bisnis Semata

“Keempat, penyelesaian konflik agraria dengan BUMN perkebunan menunjukkan arus balik percepatan penyelesaian konflik. Hal ini dilihat dari aspek pertimbangan lama penguasaan fisik oleh rakyat dalam menyelesaikan konflik, padahal banyak faktor yang menyebabkan petani tidak mampu untuk menguasai lapangan, salah satunya kriminalisasi dan penggusuran” sambungnya lagi.

“Kelima, SPI menolak pemberian hak pengelolaan (HPL) kepada BUMN Perkebunan, karena bukan solusi atas hambatan penyelesaian konflik agraria selama ini dengan BUMN perkebunan. Keenam, SPI menolak skema pola penyelesaian konflik agraria yang menggunakan hak atas tanah berjangka waktu, karena semakin tidak memberikan jaminan kepastian bagi petani/rakyat terhadap tanah yang sudah dijadikan obyek reforma agraria,” paparnya.

“Poin ketujuh adalah, Perpres Percepatan Reforma Agraria tidak mengatur masyarakat adat. Tidak ada satu pasal pun mengakomodir terkait tanah masyarakat hukum adat,” keluhnya.

Baca Juga: SPI Apresiasi Niatan Pemerintah Kelola Minyak Sawit Merah Berbasis Koperasi

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Ahmad Farizal

Sumber: pers rilis SPI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X