“Kementerian Pertanian masih melakukan diskriminasi terhadap para petani yang tergabung diluar dari bentuk kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan)"
"Padahal, sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 87/PUU-XI/2013 tanggal 5 November 2014, upaya perlindungan hak-hak petani yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan) harus bersifat utuh, tidak boleh terbatas hanya pada poktan dan gapoktan saja. Sudah 8 (delapan) tahun Kementerian Pertanian hanya bergeming membiarkan situasi ini. Bahkan di dalam Permentan Nomor 67 Tahun 2016 tentang Kelembagaan Petani, pemerintah masih membiarkan masalah diskriminasi tersebut berlanjut".
"Akibatnya jelas, banyak petani yang kesulitan mengakses berbagai program, subsidi maupun bantuan hanya karena bentuk kelembagaan bukan bernama poktan dan gapoktan. Kementerian Pertanian, jelas-jelas mengabaikan eksistensi dari beragam bentuk organisasi petani yang ada di Indonesia, yang selama ini telah berjuang keras sebagai penghasil pangan di Indonesia.” Tegasnya.
Baca Juga: SPI: BBM Naik, Pemerintah Harus Mengambil Langkah-langkah Perbaikan Secara Komprehensif
SPI juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang terus mendorong pendekatan ketahanan pangan untuk mengatasi persoalan pangan dalam negeri dan ancaman krisis pangan yang mengintai. Hal ini dilihat dari upaya pemerintah untuk terus mendorong program seperti Food Estate sampai dengan pengembangan Genetic Modified Organism (GMO) di Indonesia.
Dari Tuban Jawa Timur, Kepala Pusat Perbenihan Nasional (PPN) Dewan Pengurus Pusat SPI, Kusnan menyampaikan “SPI kembali mengingatkan pemerintah bahwa pendekatan ketahanan pangan, yang menggantungkan diri pada pasar dan kekuatan swasta, tidak akan menyelesaikan masalah pangan yang ada.
Secara khusus SPI menyoroti kebijakan pemerintah untuk Food Estate dan GMO. Untuk food estate, sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa hal ini tidak terbukti efektif untuk mengatasi masalah produktivitas komoditas pangan di Indonesia.
"Hal yang terjadi justru Food Estate membuat masalah-masalah baru, yakni konflik agraria dan yang paling parah adalah ketergantungan petani terhadap korporasi, seperti benih, pupuk, sampai ke pemasarannya.”
“Begitu juga terkait GMO, pada tahun 2001 lalu SPI telah berhasil mendesak melalui aksi massa ke Kementan untuk tidak mengedarkan benih kapas transgenik"
"Namun peluang GMO tahun ini kembali dibuka. SPI menolak dengan tegas rencana pemerintah untuk mengembangkan benih kedelai GMO dengan dalih peningkatan produktivitas"
"Hal tersebut justru akan menjadi ancaman bagi keanekaragaman hayati, seperti benih kedelai lokal yang ada di Indonesia. Dan lagi-lagi, penggunaan GMO hanya akan membuat petani tidak berdaulat akan benih dan semakin tergantung pada korporasi”, Tegas Kusnan.
Baca Juga: SPI Apresiasi Perhatian Presiden Kepada Pengelolaan Minyak Makan Merah oleh Koperasi
Ia menyebutkan upaya pemerintah mendorong penggunaan bibit GMO juga bertentangan dengan desain pembangunan pertanian Indonesia ke depannya, dimana pemerintah memiliki program 1.000 Desa Berdaulat Benih dan 1.000 Desa Organik.
“Kami ingin mengingatkan kembali janji-janji yang sudah diusung oleh pemerintah terkait kedaulatan pangan di Indonesia, yakni program 1.000 Desa Berdaulat Benih dan 1.000 Desa Organik. Logikanya bagaimana mungkin kemandirian benih bisa tercapai kalau benih GMO perusahaan terus didorong. Ini adalah kemandirian palsu karena petani ditempatkan sebagai konsumen benih,” imbuhnya.
Oleh karena itu, pada peringatan Hari Tani Nasional Tahun 2022 ini SPI menuntut Menteri Pertanian RI untuk: