Putusan MK Tidak Dijalankan, Persoalan Kelembagaan Petani Eksklusif dan Diskriminatif Masih Berlanjut

photo author
- Selasa, 2 Agustus 2022 | 11:00 WIB
Tidak dijalankannya putusan MK mengakibatkan persoalan kelembagaan petani yang eksklusif dan diskriminatif masih terjadi sampai dengan saat ini. (Dok. SPI)
Tidak dijalankannya putusan MK mengakibatkan persoalan kelembagaan petani yang eksklusif dan diskriminatif masih terjadi sampai dengan saat ini. (Dok. SPI)

akses terhadap tanah sebagai faktor produksi yang utama; sampai pada permasalahan kelembagaan petani: tidak adanya wadah yang menaungi para petani muda untuk bebas berserikat dan mengartikulasikan kepentingan.

Ketua Departemen Politik, Hukum, dan HAM Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia, Angga menyampaikan, konstitusi Indonesia pada dasarnya sudah menjamin kebebasan berorganisasi bagi petani, yakni dalam 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan menjadi hak-hak mendasar yang harus dijamin oleh negara.

"Namun pemerintah justru mengabaikan hal tersebut, melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan) dengan memberi pengakuan terbatas hanya pada kelompok petani dan gabungan kelompok petani "

"Hal tersebut kemudian digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Serikat Petani Indonesia, dan organisasi petani dan gerakan rakyat lainnya, sehingga menghasilkan putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 87/PUU-XI/2013 tanggal 5 November 2014," kata Angga

Angga menegaskan, isi putusan tersebut antara lain memperbaiki pasal 70 ayat (1) tentang kelembagaan petani dengan menambahkan frasa “serta kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani”.

Baca Juga: Petani Kena Pajak?, Dedi Mulyadi: Pemerintah Dinilai Tidak Tepat

"Artinya organisasi petani yang berbentuk seperti serikat, paguyuban, aliansi, kesatuan, himpunan dan yang lainnya termasuk juga ke dalam kelembagaan petani dan memiliki hak yang sama"

'Sehingga kelembagaan petani tidak hanya dibatasi Kelompok Tani (Poktan), Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Asosiasi Komoditas Pertanian, dan Dewan Komoditas Pertanian Nasional saja," keluhnya.

"Tidak hanya itu, MK juga menghapus frasa “berkewajiban” pada ayat 71, karena itu petani tidak lagi diharuskan menjadi anggota kelembagaan petani yang dibentuk oleh pemerintah, dan diberikan kebebasan bergabung dan berperan aktif pada kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani sendiri," lanjutnya.

Angga memaparkan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia (Kementan) selaku kementerian penanggung jawab belum menjalankan putusan MK tersebut.

Hal ini tampak pada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pembinaan Kelembagaan Petani pada tanggal 20 Desember 2016, yang secara substansi tidak mengalami banyak perubahan dari Permentan 82/2013 tentang Pedoman Pembinaan Poktan dan Gapoktan.

Tidak dijalankannya putusan MK mengakibatkan persoalan kelembagaan petani yang eksklusif dan diskriminatif masih terjadi sampai saat ini.

"Diskriminasi akibat keterbatasan bentuk kelembagaan petani yang diakui pemerintah dapat dilihat dari kebijakan subsidi pupuk yang dikeluarkan pemerintah"

"Syarat yang ditetapkan untuk mengakses pupuk bersubsidi adalah dengan para petani harus memiliki Kartu Tani, turut serta dalam penyusunan Rencana Definitif Kelompok (RDK) dan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK)," tegasnya.

Baca Juga: SPI: Harga TBS Terjun Bebas, PKS Harus Bayar Selisih Pembelian ke Petani

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Us Tiarsa

Sumber: Pers Rilis

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X