news

Politikus PDIP: Presiden Larang Ekspor CPO, Airlangga Hartarto, Agus dan Muhammad Lutfi Tidak Pernah Muncul

Jumat, 20 Mei 2022 | 07:05 WIB
Kemendag dan Kementerian BUMN bersinergi dengan pengusaha minyak goreng meluncurkan program MigorRakyat agar penjualan minyak goreng curah Rp14 ribu tepat sasaran. (Kemendag/Cover Both Side)

Bisnis Bandung - Kader PDI Perjuangan, dua menteri dari partai Golkar, yakni Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang,kemana saja setelah Presiden Joko Widodo melarang ekspor minyak sawit dan turunannya, kedua menteri tersebut tidak pernah muncul memberikan penjelasan ke publik.

Sama halnya dengan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi yang tidak muncul memberikan keterangan soal simpang siur pelarangan ekspor produk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDIP Deddy Yevri Hanteru Sitorus menyebut, Airlangga dan menteri terkait seharusnya memberikan informasi tentang kebijakan lanjutan yang diambil pemerintah setelah pernyataan Presiden Jokowi soal pelarangan ekspor CPO dan turunannya.

“Pak Menko Airlangga, Kemenperin Agus dan Kemendag Lutfi pada ke mana.. ya? Menko Ekonomi Kok Tidak Ada Suaranya Mereka kan pelaksana tekhnis yang harus bertanggung jawab,” ujar Deddy kepada wartawan, baru-baru ini.

Baca Juga: Kata Ustadz Abdul Somad (UAS) Upaya Deportasi Dirinya Disejumlah Negara Terindikasi ada Konspirasi

Dikemukakan Deddy, Airlangga atau menteri yang ditugaskan harus mulai melakukan komunikasi publik tentang masa depan industri sawit, sehingga tidak muncul kekacauan di lapangan. Petani kecil ingin tahu sampai kapan mereka  jadi korbankan oleh kebijakan Presiden. Termasuk pelaku industri sawit mulai dari yang skala kecil dan besar, mereka ingin mengetahui sampai kapan pelarangan ekspor produk CPO dan turunannya.  ? Deddy mengaku, berdasar laporan yang diterimanya, ketidakjelasan kebijakan ini sangat merugikan petani.

Pasalnya, buah sawit produksi petani  ditolak oleh pabrik kelapa sawit (PKS) karena terbatasnya kapasitas penampungan. Sementara itu, lanjut Deddy, petani “menjerit” menderita kerugian karena harga tandan buah segar (TBS)  merosot tajam, sehingga tidak mampu menutup biaya produksi .

“Saya khawatir dengan petani yang  menjerit, termasuk kemampuan mereka membeli pupuk . Jika itu terjadi maka bisa dipastikan produktivitas sawit petani akan turun drastis tahun depan. Sebab sawit sangat sensitif terhadap pemupukan,”ujar Deddy seraya menyarankan pemerintah agar segera mengatur kebijakan tata niaga yang baru. Mulai dari penetapan harga TBS, harga CPO, hingga harga minyak goreng curah dan kemasan.

Baca Juga: Ade Armando: Memperjuangkan Kebebasan dan Keterbukaan Dalam Beragama Itu Kewajiban Yang Mengandung Risiko

Deddy juga mengusulkan agar pemerintah kembali menetapkan kewajiban pasok pasar dalam negeri (domestik market obligation/DMO) minyak goreng curah dan kemasan dengan mengatur rujukan harga keekonomian (DPO) atau harga eceran tetap (HET).

“Persoalan menentukan harga itu adalah persoalan hulu yang harus dibereskan terlebih dahulu. Komponen pembentuk harga TBS, CPO, dan minyak goreng harus dirumuskan secara tepat dan benar,” ungkapnya. Pemerintah, bisa saja menugaskan BUMN atau BUMD untuk menyerap buah sawit petani dan pengusaha kecil untuk diolah menjadi minyak goreng curah dan kemasan. Pemerintah bersama BUMN dan BUMD bisa membangun pabrik minyak goreng di sentra-sentra perkebunan sawit rakyat, sekaligus melakukan melakukan proses distribusi bersama dengan Bulog.

“Harap diingat, produksi sawit rakyat dan kebun skala kecil hingga sedangu jumlahnya mencapai  30 % dari total produksi nasional. Hal ini akan memberikan kepastian di tingkat petani dan usaha kecil,” ujar Deddy.

Baca Juga: Pasca Dikeroyok, Ade Armando Mengklaim, Otaknya Masih Berfungsi Normal, Kondisinya Kian Membaik

Selain itu, lanjut Deddy,  pemerintah perlu membangun storage atau tangki penyimpanan cadangan nasional minyak goreng untuk stabilisasi harga. Adapun untuk pengusaha  besar, Deddy menilai pemerintah bisa mempersilahkan menjual produksinya untuk keperluan biofuel atau ekspor dengan pengenaan pungutan ekspor (levy) yang tinggi.

Sebab itu,  Menko Bidang Perekonomian harus bergerak cepat dan dalam waktu singkat untuk menjelaskan kebijakan yang akan ditempuh setelah pelarangan ekspor CPO dan turunannya. “Saat ini semua menunggu terutama petani sawit kecil dan bahkan konsumen diseluruh dunia. Kalau berlarut-larut dan tidak ada kejelasan, saya menganggap Menko gagal total dan harus dievaluasi bersama menteri di bawah koordinasinya,” ujar Deddy menegaskan. ***

Tags

Terkini