news

PISPi: Pemerintah Menaikan PPn Menjadi 11 Persen, Rezim Ini Masih Bersandar Pada Inflasi

Jumat, 29 April 2022 | 09:00 WIB
Ilustrasi Menaikan PPn menjadi 11 persen dari setiap pertambahan nilai, akan berdampak selain konsumen juga kepada petani sebagai produsen. (Pixabay)

Bisnis Bandung - Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) menyelenggarakan Web Seminar terkait pajak yakni Mengurai Polemik Pajak Pertambahan Nilai (PPn) atas penyerahan Barang Hasil Pertanian Tertentu (BHPT)

R.S. Suroyo MSI Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan BPP PISPI sebagai moderator webinar menerangkan bahwa kegiatan ini digelar sebagai respone terhadap Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia (PMK) tentang pajak Nomor 64 Tahun 2022 tentang PPn BHPT yang disahkan pada tanggal 30 Maret 2022 lalu.

"Melalui PMK ini secara resmi PPN dari BHPT ditetapkan sebesar 1.1 persen final dari harga jual. Dengan demikian pengusaha kena pajak wajib menerbitkan faktur pajak saat penyerahan BHPT. Lalu bagaimana dampaknya bagi petani?", tanya Suroyo seraya mengantarkan Webinar.

Kegiatan kemudian dibuka oleh Dr. Jamhari sebagai Presidium PISPI. Dalam sambutannya ia menekankan roda perekonomian Indonesia saat ini berjalan dengan pengorbanan petani. "Dalam polemik PPn BHPT, pengenaan pajak di level petani akan mempersulit. Diskusi ini dapat mengurai agar tidak menyebabkan petani kita out", seru Jamhari.

Hadir sebagai pembicara Dr. Ir. H. E. Herman Khaeron M.Si anggota Komisi VI DPR-RI dalam paparan dijelaskan penting untuk menimbang petani sebagai komunitas yang diberikan afirmasi oleh negara.

Baca Juga: SPI: Harga TBS Terjun Bebas, PKS Harus Bayar Selisih Pembelian ke Petani

"Pemerintah menaikan PPn menjadi 11 persen dari setiap pertambahan nilai. Jika dikaitkan dengan tanaman pangan, akan berdampak selain konsumen juga kepada petani sebagai produsen. Rezim ini masih bersandar pada inflasi", tegas Herman yang juga sebagai Dewan Penasehat PISPI.

Mewakili Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI, Inge Diana Rismawati sebagai Kasubdit Penyuluhan Perpajakan menerangkan bahwa sesungguhnya pungutan pajak dari hasil pertanian bukan hanya kali ini saja ditetapkan.

Pada tahun 2009 lalu PPn untuk BHPT sempat diatur. Ia menerangkan bahwa aturan ini ditujukan untuk memberi rasa keadilan dan menyederhanakan administrasi perpajakan.

Inge mengungkap, "Pemerintah memang sempat menimbang ulang pemberlakuan PPn BHPT 11 persen pada 1 April 2022, sampai dengan Rapim terbatas 30 Maret 2022 diputuskan untuk tetap dilanjutkan oleh para pimpinan. Tentu tidak semua senang, ada yang dirugikan, kita tidak bisa menyenangkan semua orang"

Pendapat Inge ditambahkan Dian Angraeni sebagai Penyuluh Pajak Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, semua BHPT yang dikenakan pajak diperuntukan bagi pengusaha yang memiliki omset Rp 4,8 miliar per tahun. Sehingga petani dan pengusaha pertanian yang kecil masih terlindungi dari ketentuan ini.

"Setelah UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan terjadi perubahan tarif. Industri sebagai pemungut PPn. Karena itu perlu digarisbawahi bahwa ini pajak atas konsumsi, bukan pajak penghasilan", ujar Dian.

Mendapat penjelasan Ditjen Pajak, Ir Sadar Subagyo Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menyayangkan pemberlakuan PMK 64/2022 tidak tepat momentum. "Sosialisasi Ditjen Pajak juga semestinya bisa lebih mudah dipahami bagi petani dan pengusaha pertanian skala kecil", sebut Sadar.

Sementara itu H. Hendra Hartono MMA. MBA Wakil Ketua Kadin menanggapi

kebijakan menaikkan PPn 1 persen memang tidak pada waktu yang tepat. "Meski dikenakan pada pembeli, kenaikan itu dilapangan tidak selalu linier akan pas 1 persen. Dampak tetap akan dialami oleh konsumen", kata Hendra.

Halaman:

Tags

Terkini