Bisnis Bandung --- Pakar Ekonomi, Faisal Basri dalam perbincangannya dengan Gita Wirjawan, di channel youtube nya Gita Wirjawan yang tayang pada tanggal 30 Maret 2022, memaparkan plus minus tata kelola perekonomian dimasa rezim Jokowi.
Menurut Fasial Basri, negara Indonesia itu menganut demokrasi sosial, internasionalisme dijunjung tinggi.
Pemikiran tersebut merujuk kepada pemikiran Bung Karno, Indonesia bebas aktif. Kita terbuka bukan negara autarki. Kemudian pemikiran Bung Hatta yang tercermin pada UU 45, kalau Negara Indonesia sangatlah negara kesejahteraan.
Didalam UU45, sebut saja beberapa pasal didalamnya, yang menyatakan berkaitan dengan kesejahteraan. Misalnya saja bahwa fakir miskin dipelihara oleh negara, negara wajib menyelanggarakan sistem kesehatan yang layak. Kemudian negara mengembangkann satu jenis pengaman yang kokoh bagi rakyat.
Menurut Bung Hatta, kekayaan alam kita yang besar ini, berupa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasi oleh negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dikuasai oleh negara tetapi tidak harus oleh BUMN
Negara mempunyai kuasa untuk menentukan berapa besar pajaknya, berapa konsesinya, berapa bagi hasilnya, negara punya otoritas untuk itu.
Faisal Basri menegaskan, kalau sekarang negara abai, pasalnya menyerahkan sumber daya alam untuk dikeruk sebesar-besarnya.
Misalnya saja negara tidak melaksanakan fungsi redistribusi, seperti batu bara tahun lalu. Pendapatan dari ekspor batubara saja hampir 500 triliun. Hanya hasil "windfall" nya diambil oleh negara, karena negara tidak berani menerapkan pajak ekspor untuk mengambil sebagian windfall yang mereka nikmati itu. Di CPO bayar, di batu bara tidak.
Nah, disini saya (read: Faisal Basri) lihat negara gagal untuk mengedepankan prinsip prinsip dasar fungsi redistribusi itu.
Anehnya lagi harga minyak goreng ditetapkan Rp 11.000 padahal ongkos CPO nya Rp 14.000, ya tidak ada yang mau.
Jadi menurut Faisal Basri negara ini, pemerintah sekarang dibandingkan pemerintah sebelumnya "ungoverned", jadi "ungoverned goverment"
Jadi pada intinya semua tidak dilandasi oleh satu pemikiran, kurangya teori tidak berbasis data, tidak berbasis sains semuanya reaktif.
Menurut Faisal Basri tidak pernah sepanjang sejarah Republik indonesia, inflasi sangat rendah dan stabil, stabil pada limit yang rendah, itu pencapaian yang luar biasa diera Jokowi, tidak pernah terjadi pada periode - periode sebelumnya.
Masalah terbesar kita inflasi dan sekarang inflasi bukan masalah, terlepas dari caranya dan sekarang kemampuan pemerintah mengendalikan makin terbatas atau mulai terjadi kenaikan-kenaikan karena dulu ditekan
BBM ditekan, listrik ditekan, segala macam ditekan, kan ada ongkosnya, ongkosnya ternyata sudah tidak bisa ditanggung lagi.
Oleh karena itu kita secara bertahap, kita harus memberikan peluang kepada inflasi untuk naik, inflasi yang naik juga pertanda bagus artinya ada geliat.
Inflasi yang naik menunjukkan kita sudah berkeringat tandanya ada kegiatan ekonomi.
Jadi inflasi rendah jangan dianggap prestasi, ini cerminan dari daya beli masyarakat yang rendah jadi interpretasinya jangan statit, tetapi kita harus lihat dalam kondisi dinamis.
Kemudian paling parah menurut Faisal Basri, diluar sentuhan negara, negara tidak melakukan apa-apa, bahkan praktis mendiamkannya bahkan memperburuknya adalah kekuatan "jantung" kita yang semakin lemah dan jauh lebih lemah dibandingkan kondisi sebelum krisis.
Kalau sebelum krisis, kredit rasio GDP nya masih 60 an, sekarang cuman 38 dan trendnya terus turun.
Jadi negara membiarkan bank-bank itu mengambil dana dari masyarakat dan tidak mengucurkannya kembali kedalam bentuk kredit, karena negara punya kepentingan.
Sekarang utang negara itu SBN terbesar pembelinya adalah perbankan dalam negeri
Kedua adalah BI digabung semua, itu sudah habis, jadi tidak terjadi dinamika didalam ekonomi dalam biaya sektor swasta
Sektor swasta kita masih termegap-megap sementara uangnya dipakai buat bangun ibu kota, buat kereta cepat, buat jalan tol yang tidak efesien yang menyebabkan ICOR kita tinggi
Jadi yang spektakuler diera Jokowi adalah "incremental capital outpuf ratio" yang melonjak 50 persen dibandingkan dengan periode periode sebelumnya.
Diera orde baru sampai SBY berkisar 4 - 4.6 diera Jokowi 2015 - 2019 itu 6.5.
Tidak ada upaya untuk melakukan inefesiensi. Inefesiensi dinegara kita diperkirakan menginjak 30 persen sampai 40 persenan.
Tidak ada upaya, sehingga dana yang dikumpulkan oleh pemerintah dari pajak, makin lama makin berkurang, oleh karena itu harus berhutang terus, mengeluarkan SBN terus, dibelanjakan dengan cara tidak layak.
Yang perlu dicatat, 75 persen "fixed capital formation" kita adalah bangunan. Sementara untuk mesin/peralatan hanya 10 persen,
Padahal mesin/peralatan inilah yang menghasilkan barang dan jasa yang digerakan oleh industri.
Jadi bukan jumlah investasinya tapi kapasitas investasinya yang disesuaikan.
Saatnya kita mengkoreksi apa yang harus kita lakukan dan yang sebelumnya sudah dilakukan. Dan sebenarnya pemerintah sudah melakukannya sejak tahun lalu, tetapi realisasinya masih tanda tanya.
Konsep ekonomi pasca pandemi, isu transformasi ekonomi yang dibutuhkan sudah diakomodasi oleh pemerintah, entah aplikasinya. Faisal Basri menegaskan RPJNM sudah tidak relevan lagi, karena sudah berubah semua
Konsep ekonomi pasca pandemi, isu transformasi ekonomi harus menjadi acuan bagi pembangunan pasca covid, tetapi sampai sekarang saya tidak melihat, sangat boleh jadi, ini disebabkan karena hampir seluruh SDM di Bappenas itu habis buat IKN, padahal konsep besarnya tentang pasca covid ini harus jelas, tegas pakar ekonomi itu.