Bisnis Bandung, --- Sebuah konsep Clayton Christensen seorang Guru Besar Di Harvard Business School, Innovator’s Dillema yang dituliskannya pada tahun 2015 mengungkap banyak hal menarik, terutama jika dikontekstualkan dengan saat ini.
Terutama era digital, saat pandemic terlebih lagi.
Jika dikisahkan dengan sebuah kisah anggaplah Budi, Product Engineer usaha besar dan lama jadi pemimpin pasar.
Tapi, pada satu masa, usaha ini terpaksa tutup dan kehilangan pekerjaannya.
Dalam 1 tahun terakhir, perusahaannya hampir kehilangan seluruh konsumennya karena kompetitornya hadir dengan Disruptive Innovation.
Tentu Budi sangat sedih, karena rasanya perusahaannya tidak melakukan kesalahan apapun, namun seketika kalah dalam kompetisi. Budi tak paham mengapa perusahaannya gagal karena "rasanya" mereka melakukan segala sesuatunya dengan "benar"! Jadi sebenarnya apa yang terjadi dengan perusahaannya?
Ada 2 tipe inovasi yang dituliskannya yakni, Sustaining Innovation (SI) vs Disruption Innovation (DI).
Sustaining Innovation merupakan usaha dalam mengembangkan performa produk yang didasarkan pada fitur-fitur yang dinilai baik oleh konsumen mainstream yang mendominasi pasar, biasanya memaksanya untuk bergerak maju.
Beda dengan Disruptive Innovation yang kerap kali melibatkan hal-hal yang performanya awalnya lebih rendah terus melakukan trial dan error, dilahirkan pada niche market dan mengabaikan pasar mayoritas saat ini. Dititik-titik ceruk pasar yang sempit inilah kebanyakan pelaku DI memulai pergerakannya.
Usaha-usaha yang mengandalkan Sustaining Innovation biasanya dipandu permintaan pasar eksisting yang memang sudah tampak besar, tapi justru hal ini membuatnya gagal total dikemudian hari.
Sedangkan usaha-usaha baru hadir dengan lincah, Agile dan responsif karena melalkukan pendekatan Disruption Innovation.
Usaha-usaha ini berupaya selincah mungkin dengan memastikan bahwa pergerakannya didasarkan oleh menggunakan peluang masa datang yang belum terbukti dan mereka lakukan aktivitas-aktivitas eksperimental terukur, hingga selangkah demi selangkah dapat memvalidasi beragam solusi yang relevan dengan masa depan.
Inilah yang jadi inti dari dilema sang innovator, Ketika institusi atau perusahaan besar merasa dirinya besar dan unggul.
Mengapa perusahaan besar pasar kehilangan peluang mendapatkan pasar Disruption Innovation-nya, walau selalu mengerjakan berbagai perbaikan dan pengembangan, menyasar pangsa pasar besar dan meraup profit margin terbesar dan selalu memvalidasi konsumennya sebagai kriteria proyek-proyek terbaiknya? Usaha-usaha ini memang melakukannya dengan benar, tapi pada saat yang sama kompetitor justru menuju inovasi disruptif dengan upaya-upaya barunya.
Usaha baru yang skalanya lebih kecil dan lincah biasanya mengusung Disruption Innovation dengan memastikan presistensi atas trial dan errornya.
Strategi ini membuat produknya berkembang seiring waktu. Ketika kompetitor besar beralih ke ceruk pasar yang kecil dan basis kustomer dengan karakter baru, mereka sudah terlambat! Di pasar yang baru, perusahaan dan institusi besar jadi tak mampu mengejar ketertinggalan membangun keunggulan kompetitifnya!
Innovator’s dilemma, menggambarkan sebuah kondisi dimana pada saat market leader menjadi gamang, ragu-ragu atau bahkan menjadi tak mau melakukan inovasi radikal.
Kondisi inii dipicu oleh karena institusinya sudah merasa besar, unggul da tak tersaingi hingga ada rasa cinta dan rasa percaya diri yang muncul secara berlebihan.
Menjadi besar dan memimpin pemimpin pasar, memang kerap kali berimbas pada munculnya arogansi dan rasa percaya diri yang berlebihan.
Banyak usaha atau organisasi besar justru terjebak dalam innovator dilemma. Sejarah banyak mencatat, yang mati justru usaha-usaha besar populer seperti halnya Nokia – terseok, kemudian mati dengan cepat dalam kesunyian ditinggal marketnya yang tiba-tiba beralih cepat dan senyap.
Kecepatan perubahan begitu signifikan, tren yang cepat berganti dan usang dan tidak relevan, kemudian suatu saat waktu tiba-tiba duduk terdiam dalam tatap kosong menyesali keterlambatan yang harganya sangat mahal.
Dilema inovator ini juga bisa diakibatkan oleh ketakutan bahwa inovasi yang telah diciptakan pada masa lalu ini kelak justru akan berakibat buruk dengan mengkanibal produknya sendiri.
Beberapa perusahaan yang pernah mengalami ini dengan kepercayaan dirinya yang berlebih contoh saja Nokia yang dulu pernah menyebut Android sebagai semut kecil merah yang mudah dimatikan.
Disaat yang sama, kebiasaan dan persistensi trial dan error para pelaku baru sebelum masa pandemik di era digital justru menjadi wadah berlatih paling jitu, mereka menemukan momentum untuk menyalip para raksasa yang nyaman dengan kebesarannnya terlena berjaya dalam perbagai bidang, padahal pelan-pelan terjebak innovator dilemma, terbuai & lengah atas begitu dramatis kecepatan kemajuan era digital ini.
Organisasi kecil-lincah kemudian menggurita karena menemui momentum distrupsinya.
Era saat ini musuh yang menakutkan bisa datang dari arah atau wujud yang sama sekali tak terduga, atau bukan sama sekali yang apple to apple.
Mereka bisa datang dari jenis industri lain, tiba-tiba memaksa masuk membuat pelaku lama goyah dan dipaksanya berhenti.
Pada akhirnya, bagi yang mampu melakukan inovasi yang konstan akan melenggang di era baru dengan beragam produk yang inovatif.
Demikian opini yang ditulis Dwi Purnomo,
Dosen Fakultas Teknologi Industri Pertanian
Universitas Padjadjaran (Unpad), yang disampaikan kepada Bisnis Bandung (BB).
Tulisan yang berjudul "Dilema sang Inovator; Kegamangan Instusi Besar", layak kita ambil hikmahnya. Hikmah secara tersurat dan tersirat.
Artikel Terkait
Tren Adaptasi Bisnis di Tahun 2022
Tren Adaptasi Bisnis di Tahun 2022
Bagaimana Prospek Bisnis Coffee Shop di tahun 2022? Simak Penuturan CEO Serantau Coffee
Digitalisasi Bisnis Perunggasan
Busyro : Keledai Politik Oligarki Bisnis Gelap Dan Melanggengkan Kekuasaan