Pemimpin saat itu yang disebut Khalifah bertanggung jawab penuh dalam melayani para tamu Allah Swt., Khalifah akan menunjuk Muslim yang amanah untuk bertanggung jawab dalam mengelola urusan haji dengan menetapkan wilayah-wilayah mana yang dekat dari haramain untuk menjadi tempat persinggahan para tamu Allah.
Kebijakan haji pada masa Utsmaniyyah dapat kita jejaki sebagai model pengurusan haji oleh khalifah pada masanya.
Baca Juga: Longsor Terjang Desa Cisalak, Bupati Sumedang Tetapkan Tanggap Darurat
Saat itu, belum ada sarana transportasi dengan menggunakan mesin yang aman dan nyaman, baik darat, laut, maupun udara. Pemimpin Islam menetapkan wilayah-wilayah penting di sekitar tanah suci yang akan menjadi tempat untuk menyambut para jemaah.
Wilayah Syam, dengan letak geografisnya, telah menjadi pusat pertemuan para jemaah haji yang datang dari Arab, Persia, Kurdi, Turkmen, India, Georgia, Albania, Afganistan, dan sebagian jemaah yang berasal dari Asia Tenggara yang datang melalui jalur darat.
Sementara wilayah timur Islam yang lain, dengan pertimbangan bahwa jalur darat, antara Damaskus dan Hijaz adalah jalur yang paling pendek untuk kafilah haji yang berangkat untuk menunaikan ibadah haji, begitu juga kafilah dagang sejak dahulu, dan zaman sebelum Islam.
Persiapan sarana haji telah dimulai tiga bulan sebelum musim haji. Negara Utsmani, di bawah pimpinan Sultan Utsmani, telah memberikan perhatian lebih dan besar kepada tempat ini. Lajnah Khusus, dengan kedudukan tinggi, yang berhubungan langsung dengan Ash-Shadr al-A’dham (semacam kepala pemerintahan), telah diberi tugas.
Tugas utamanya adalah memonitor dan memperhatikan semua urusan rombongan haji di wilayah-wilayah Islam, serta menginstruksikan kepada wali di wilayah-wilayah itu untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Baca Juga: Badai PHK Media Mengganas! Ini Strategi Wamen Kominfo Nezar Patria
Guna mengantisipasi membludaknya jemaah dari berbagai pelosok negeri-negeri muslim, penting untuk memperhatikan prinsip syariat secara mendasar bahwa wajibnya haji adalah sekali seumur hidup.
Di sisi lain, penting bagi pemerintah untuk melakukan edukasi bahwa ibadah haji berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan memiliki kemampuan.
Dengan tata kelola yang baik, negara akan mampu memfasilitasi kerinduan setiap warganya untuk menjalankan ibadah haji seraya memastikan terpenuhinya wajib, sunah dan rukun haji secara paripurna.
Dengan demikian, penyelenggaraan ibadah haji ini sesungguhnya membutuhkan sudut pandang akidah dan lensa sistem Islam yang telah Rasulullah wariskan.
Tanpanya, ibadah haji dan umrah akan terus semrawut dengan spirit sekularisme kapitalisme yang tidak hanya mengikis spirit ibadah haji, tetapi juga makna dari ibadah yang mulia ini.
Dan, Allah Taala berfirman, “Ibadah haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu bagi yang mampu melakukan perjalanan ke Baitullah. Siapa saja yang mengingkari (kewajiban haji), sungguh Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”.***
Artikel Terkait
Cara Jitu Mencegah Pergaulan Bebas
Gercep, Pemerintah Bentuk Satgas Pemberantasan Premanisme
Menjelang Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Tasikmalaya 2025: Menakar Tantangan dan Harapan
Literacy in Indonesia: Practice and Policies, Apakah Sudah Berhasil?
Pentingnya Upaya Memberantas Tuntas Judol