Bisnis Bandung – Warga Sri Lanka tengah dilanda krisis ekonomi, energy, hingga politik.
Situasi krisis ekonomi ini, di sebabkan pemerintah Sri Lanka yang gagal melakukan pembayar utang senilai 51 miliar dollar atau Rp 732 tiliun.
Dikutip dari kantor berita AFP pada Rabu (13/4), Gubernur Bank Sentral Sri Lanka, Nandalal Weerasinghe mengatakan memerlukan bantuan dari para warga di luar negeri untuk menyumbang devisa.
Menurut Nandalal Weerasinghe, Bank Sentral Sri Lanka telah membuat rekening di AS, Inggris, dan Jerman untuk menampung sumbangan dari para ekspatriat.
"Bank memastikan bahwa transfer mata uang asing tersebut hanya akan digunakan untuk mengimpor kebutuhan pokok termasuk makanan, bahan bakar, dan obat-obatan," ucap Nandalal Weerasinghe melalui sebuah pernyataan.
Baca Juga: Sanksi Ekonomi Rusia Berimbas Pada Stabilitas Minyak Dunia Serta Pada Kenaikan Pertamax Di Indonesia
Tindakan Nandalal Weerasinghe disambut dengan kurang percaya dari orang-orang Sri Lanka di luar negeri.
Karena mereka tidak mempercayai pemerintahan Sri Lanka, apalagi adanya rekam jejak korupsi oleh pejabat dan penguasa di masa lalu.
"Kami tidak keberatan membantu, tetapi kami tidak bisa mempercayai pemerintah dengan uang kami," kata seorang dokter Sri Lanka di Australia kepada AFP.
Seorang ekspatriat lainnya juga merasa kurang yakin dengan uang yang disumbangkan akan dimanfaatkan oleh mereka yang membutuhkan.
"Ini bisa berakhir seperti dana tsunami," katanya kepada AFP, seperti pada bantuan jutaan dolar yang diterima Sri Lanka setelah tsunami pada Desember 2004.
Pada saat itu, sebagian sumbangan dana untuk para korban tsunami justru dikabarkan adanya penggelapan oleh para politisi.
Baca Juga: Ikhsan: Tak Bisa Diterima Akal Sehat Korupsi Semakin Terorganisir Tidak Ada Yang Ditabukan
Dalam situasi krisis ekonomi ini juga memicu kemarahan publik yang mendesak agar pemerintahan Sri Langka untuk mundur dari jabatanya.