Bedil geus dipeloran granat geus disolendang (Bedil sudah berpeluru granat disandang)
Ieu kuring arek miang jeung Pasukan Siliwangi (Ini aku akan pergi bersama pasukan Siliwngi)
Hijrah ka Jogja taat parentah (hijrah ke Yogya taat perintah)
Itu adalah cuplikan lagu sanggian Mang Koko berdasarkan sajak karya Wahyu Wibisana. Melukiskan pasukan Siliwangi harus hijrah atas perintah pemerintah RI. Mereka sangat berat harus meninggalkan Jawa Barat. Rakyat tidak ada yang melindungi kala diserang musuh.
Namun perintah adalah perintah. Mau tidak mau harus dilaksanakn. Semua anggota yang menempati kantung-kantung gerilya dikumpulkan. Berbondong-bondong tentara Siliwangi berangkat ke Yogyakarta dengan kereta api yang penuh sesak sampai ke sepanjang atap.
Siliwangi hanya meninggalkan sejumlah anggotanya. Mereka diberi tugas memata-matai situasi di Jawa Barat. Hampir seluruh Jawa Barat, dikuasai Belanda padahal menurut perjnjian, seluruh Pulau Jawa merupakan wilayah RI.
Pasukan Siliwangi yang hijrah ke Yogya banyak yang membawa keluarganya. Di samping menjaga Ibukota RI, Yogyakarta, pasukan Siliwangi diberi tugas bersama pasukan lain, menumpas pemberongtakan PKI Muso di Madiun.
Baca Juga: Tiga Diivisi Pasukan Sekutu Mendarat di Indonesia, Belanda Seperti Dapat Durian Runtuh
Banyak anggota tentara yang ditempatkan di Bandung tertangkap Belanda akibat penghianatan salah seorang anggota yang tertangkap lebih dulu. Di antranya ada dua orang anggota yang menyamar sebagai pegawai toko sepatu dan pedagang, tertangkap.
Kedua orang itu dibui di Banceuy dengan mendapat penyiksaan di luar batas kemanusiaan.
Keduanya diminta menyebutkan siapa saja trentara yang menyamar. Tapi keduanya tetap bungkam. Dua orang itu baru bebas tahun 1949 setelah penyerahan kedaulatan.
Tahun-tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, 1945 – 1949 merupakan masa amat sulit bagi rakyat dan pemerintah RI. Pasukan Pendudukan NICA menancapkan kuku kekuasannya hampir di seluruh wilayah kekusaan RI.
Pada tanggal 27 Mei 1947 Belanda mengeluarkan ultimatum kepada Pemerintah RI yang isinya antara lain membentuk pemerintahan interim bersama. Menyelenggarakan pemilikan bersama atas ekspor dan impor.
Tanggal 15 Juli Belanda mengancam RI, dan dalam waktu 32 jam RI harus menentukan sikap dengan memberi jawaban atas tuntutan Belanda itu. Nota jawaban RI melalui Perdana Menteri Amir Sjarifudin ditolak Belanda.
Baca Juga: Indonesia Resmi Menganut Sistem Multipartai, Anggota PPKI Tidak Sepakat Membentuk Partai Tunggal
Kelanjutan penolakan itu, tanggal 21 Juli 1947, Belanda melakukan serangan serempak. Seluruh Jawa digempur dengan persenjataan lengkap dari darat, laut, dan udara. Di Sumatera dikerahkan tiga brigade. Di Jawa Barat Belanda mengerahkan dua divisi.
Satu divisi dikirim ke Jawa Tengah setelah menggempur Jawa Barat. Sedangkan serangan ke Jawa Timur dilakukan dari laut dengan pendardatan satu divisi. Pasukan tentara RI yang tidak memiliki senjata dan perlengkapan perang memadai, tidak dapat bertahan.
Karena itu TNI mengubah strategi dari bertahan menjadi perang gerilya. Serangan-serangan pasukan gerilya secra hit and run, mampu memukul tentara Belanda dri garis depan dan masuk kembali ke kota-kota.