Ia juga menyinggung kualitas pendidikan dasar yang dinilainya harus lebih serius dibenahi.
“Kalau ada anak SMP yang tidak bisa berhitung, anak SMA yang tidak menguasai matematika dasar,mereka akan kesulitan masuk dunia kerja. Ini harus kita benahi sekarang juga,” ucapnya.
Dedi Mulyadi tak ragu menyinggung masalah pelayanan kesehatan di Jawa Barat.
Ia menyoroti kasus warga yang pulang paksa dari rumah sakit karena BPJS tidak aktif atau tak mampu membayar kebutuhan sehari-hari selama dirawat.
Baca Juga: DPR Kendarai Mobil Mewah, Guru Besar Unair Soroti Ketimpangan Kesejahteraan Pejabat dan Rakyat
“Banyak rakyat kita yang menderita karena BPJS mati atau dijamin tapi dapurnya berhenti. Negara harus hadir,” tegasnya.
Dedi Mulyadi mengutip falsafah Sunda tentang manusia ideal: cager, bager, bener, pinter, singer. Menurutnya, pendidikan dan pembangunan harus melahirkan manusia sehat, taat, jujur, cerdas, sekaligus rajin bekerja keras.
“Banyak orang pintar tapi malas. Banyak orang pintar tapi tak mau berkompetisi. Itu kelemahan kita yang harus diubah,” ujarnya.
Pidato Dedi Mulyadi juga berisi kritik keras terhadap birokrasi.
Ia meminta seluruh kepala desa, camat, bupati, hingga wali kota membuka pintu rumah dan kantornya bagi rakyat.
Baca Juga: Usman Hamid Soroti Pidato Optimistis Prabowo, Korupsi BUMN dan HAM Dipertanyakan
“Jangan biarkan rakyat berkeluh kesah sendirian. Kepala desa harus mau membuka pintu rumahnya, camat juga, bupati juga. Kalau dilakukan kolektif, penderitaan rakyat bisa selesai,” katanya.
Menutup pidatonya Dedi Mulyadi mengingatkan bahwa jabatan bukan warisan, melainkan titipan untuk mensejahterakan rakyat.
“Semoga saya dan kita semua menjadi manusia yang tersadarkan, bahwa jabatan bukanlah warisan, tetapi titipan. Dirgahayu Republik Indonesia ke-80. Sekali merdeka, tetap merdeka!” seru Dedi Mulyadi yang langsung disambut pekikan “Merdeka!” dari ribuan peserta upacara.***