Keracunan ini bukan sekadar masalah teknis. Ia adalah tanda bahwa negara tidak boleh lalai menyiapkan standar yang kokoh.
Sanitasi buruk, distribusi asal-asalan, dan pengawasan longgar menjadi bom waktu.
Baca Juga: Soleman B. Ponto Klarifikasi Peran Intelijen TNI di Tengah Kerusuhan
Profesor Slamet Riyadi, pakar kesehatan masyarakat UGM, menegaskan, “Kebijakan sebesar MBG harus dijalankan dengan kontrol ketat. Tanpa itu, yang lahir bukan kesehatan, tapi bencana.”
Kata-katanya menohok. Negara seolah lupa bahwa keselamatan nyawa rakyat jauh lebih berharga daripada sekadar citra politik.
Suara Ideologi yang Terlupakan
Islam sejak awal telah menegaskan bahwa pemimpin adalah pengurus rakyat, bukan sekadar penguasa. Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Di masa Umar bin Khattab, khalifah turun langsung mengangkat gandum di punggungnya, memastikan rakyatnya makan dengan layak.
Tidak ada anak yang kelaparan, apalagi keracunan karena kelalaian negara.
Inilah perbedaan besar. Dalam sistem Islam, pemenuhan gizi bukan alat politik, melainkan kewajiban syariat.
Negara mendanai dari baitulmal, mengelola distribusi dengan bersih, dan memastikan setiap suap makanan aman bagi yang menerimanya.
Seorang guru di Sleman sempat berbisik kepada siswanya yang terbaring, “Nak, semoga kamu segera sembuh. Kalian generasi harapan bangsa. Kalian tidak pantas jadi korban.”
Baca Juga: Soleman B. Ponto Klarifikasi Peran Intelijen TNI di Tengah Kerusuhan
Kalimat sederhana itu mengguncang hati. Betapa menyakitkan jika generasi emas yang seharusnya tumbuh sehat, justru rapuh karena makanan dari negara.
Allah Swt. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu...” (QS. Al-Anfal: 24).
Artikel Terkait
Di Balik Pintu Besi Kosambi: Sebuah Pelajaran tentang Kepekaan dan Tanggung Jawab
Cara Mendengar Suara Tuhan, Secara Mudah
Sebuah Suara dari Desa untuk Negeri
Sungai Itu Masih Ingat Namamu
Pak, Tahun Depan Aku Masih Bisa Ngajar, Nggak?
Butiran Air Mata di Karung Beras