Bisnis Bandung -- Pakar Hukum Tata Negara, Prof. DR. Denny Indrayana SH, LLM, PHD dalam obrolannya bersama Gita Wirjawan di akun youtubenya Gita Wirjawan, yang berjudul - "Penundaan Pemilu Dari Kacamata Hukum - Denny Indrayana/endgame S3E20" - yang tayang pada tanggal 16 Maret 2022 mengungkapkan, wacana tiga periode menabrak semangat reformasi kontitusi dan "penundaan pemilu" itu seharusnya dalam kondisi normal tidak dimungkinkan.
Menurutnya, dalam kondisi normal, pemilu yang periodik dan regular itu adalah syarat negara dikatakan demokratis, tapi kalau kemudian ada kondisi yang abnormal seperti pemilu kalau diadakan itu berbahaya, maka memang dibuka kemungkinan penundaan pemilu. Dan kita pernah melakukan penundaan Pemilukada pada tahun 2020, karena factor pandemic. Menurut rencana, seharusnya pilkada diselanggarakan pada bulan September namun akhirnya diselanggarakan pada bulan Desember 2020 lalu.
Denny Indrayana menegaskan, jika "penundaan" pemilu dari 2024 ke 2027, dalam kacamata tata negara ini bukan "penundaan", tetapi "cancelation". Jadi berbeda antara "penundaan" (postponement) dengan pembatalan (cancelation).
Menurutnya kalau penundaan itu karena factor ekternal, bencana alam, non alam pandemic, kalau "cancelation" itu lebih karena factor biasanya keinginan incumbent untuk mempertahankan kekuasaanya, tanpa melalui proses kontestasi pemilu, itu yang menyebabkan pemilu di "cancel" atau dibatalkan.
"Cancelation" itu bertentangan dengan UUD 1945, yang meminta 5 tahun sekali periodisasi Pemilu, bertentangan dengan masa jabatan Presiden, bertentangan dengan prinsip negara hukum yang ada dipasal 1 ayat 3."Kalau ada pemikiran kan bisa diubah, nah pemikiran begitupun salah, karena menunjukkan bahwa konstitusi bisa diubah, disalahgunakan pengubahannya untuk melegitimasi pelanggaran terhadap konstitusi itu sendiri", tegasnya.
Perubahan untuk melanggar konstitusi, perubahan untuk melanggar periodisasi pemilu, perubahan untuk memperpanjang masa jabatan, itu perubahan yang justru menabrak konstitusi itu sendiri, sehingga batal demi konstitusi, tegasnya.
Dalam proses pandemi menuju endemi dan kemudian alasan perbaikan ekonomi, justru terbalik, karena ekonomi itu membutuhkan kepastian hukum. Justru menunda itu bisa menghadirkan ketidakpastian hukum, ketidakpastian ekonomi, dan bisa membawa kita kearah krisis konstitusional karena penundaan, yang kemudian terbaca juga memperpanjang masa jabatan presiden, wakil presiden, parlemen dipusat dan daerah, DPD dan kepala daerah juga diperpanjang hingga 2027. Itu tidak ada dasarnya, sehingga akan mengakibatkan problem konstitusional yang serius dan menjadi kontraproduktif.
Penundaan/pembatalan pemilu itu justru akan mengakibatkan kekacauan politik, hukum dan goncangan pada stabilitas ekonomi, pasalnya ekonomi butuh kepastian hukum, pungkasnya. ***
Artikel Terkait
Rekonsiliasi Kebangsaan Pasca PEMILU 2019, Masyarakat Tidak Melanggar Konstitusi
Pasca Pemilu, Hubungan Emil Dan PKS Mulai Mencair
Fadli : Calon Yang Lolos Dikendalikan Cukong Revisi UU Pemilu No 7 Tahun 2017 Ada Kepentingan Parpol ?