Legalisasi Harga Daging Sapi

- Rabu, 23 Maret 2022 | 10:18 WIB
Heboh, Kenaikan Harga Daging Sapi di Bulan Puasa 2021 (Ayobandung.com/Irfan Al-Faritsi)
Heboh, Kenaikan Harga Daging Sapi di Bulan Puasa 2021 (Ayobandung.com/Irfan Al-Faritsi)
 
 
Bisnis Bandung, (BB) --- Anggota Komite Pemulihan Ekonomi Jabar (KPED Jabar), Rochadi Tawaf menegaskan, heboh fluktuasi harga daging yang terjadi setiap tahun khususnya pada bulan Ramadhan dan Idul Fitri,  tahun ini berulang lebih cepat. Walaupun dengan berbagai kebijakan strategis yang telah diluncurkan pemerintah seperti; kuota impor daging/sapi, pembebasan kuota impor, pembatasan/pembebasan impor jeroan, membuka impor daging india, kebijakan rasio impor bakalan dan indukan serta masih banyak kebijakan lainnya. Namun, harga daging terus meningkat tinggi, seolah enggan turun seperti kehendak pemerintah. Apa sesungguhnya yang menyebabkan hal ini terjadi?
 
Fluktuasi harga daging yang selalu berulang dan berlanjut hingga kemelut dalam bisnis daging sapi telah menelan banyak korban. Mulai dari tokoh politik partai di tahun 2013, Hakim MK dan importir daging sapi 2017, puluhan perusahaan feedlot sapi yang divonis oleh KPPU dan puluhan perusahaan Feedlot bangkrut, belum lagi peternakan rakyat yang sulit dihitung nilai kerugiannya. 
 
Tahun ini, kenaikan harga daging sapi  berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Di era pandemik Covid 19, ditandainya dengan mogok jualan dari para pedagang daging sapi jauh sebelum Bulan Ramadhan/Idul Fitri di wilayah DKI Jakarta. Pasalnya, menurunnya daya beli konsumen disatu sisi, sementara di sisi lainnya harga daging meningkat tajam. Dalam beberapa minggu terakhir ini telah terjadi kenaikan harga yang signifikan, dari Rp. 110.000/kg menjadi sekitar Rp 140.000,00/kg. Ternyata, konsumennya malah menurun tajam. 
 
Menurut Ketua umum Jaringan Pemotongan dan Pedagang Daging Indonesia (JAPPDI) bahwa kerugian pedagang daging/jagal sekitar Rp. 1 – 2 juta /ekor. Sesungguhnya, pada situasi dan kondisi seperti ini, yang diperlukan adalah hadirnya substitusi daging kerbau ke pasar. Sehingga, para pedagang tidak mengalami kerugian. Namun, ternyata tidak nampak adanya upaya pemerintah menggelontorkan daging kerbau.
 
Kenaikan harga sapi bakalan impor dari Australia bukan tanpa sebab, dua tahun lalu telah terjadi bencana alam banjir dan kebakaran hutan di Australia. Menyebabkan menurunnya pasokan dari Australia. Ditambah meningkatnya konsumen sapi Australia Ke Vietnam dan China. Menyebabkan harga importnya yang secara spektakuler meningkat tajam. Kebijakan single supplier inilah yang membahayakan posisi peternakan sapi potong kita. 
 
Apabila ditelusuri mengapa hal ini berulang dan terus terjadi, faktor penyebab utamanya adalah sebagai berikut. Pertama, kebijakan pembangunan peternakan sapi potong yang sudah sangat baik yang didisain oleh para akhli, sejatinya tidak diikuti oleh politik anggaran yang massif. Pasalnya, banyak kebijakan yang tertuang dalam roadmap pengembangan sapi potong menuju lumbung pangan asia 2045, asumsinya tidak dipenuhi. Artinya, sebagus apapun rancangan pengembangan sapi potong tanpa anggaran yang cukup dan akuntabel akan tidak ada gunanya. Dampaknya sudah kita rasakan saat ini. Berapa besar kerugian yang diderita para pengusaha yang bangkrut usahanya, dan pengurasan devisa karena impor yang meningkat, katanya kepada Bisnis Bandung (BB), di Bandung. 
 
Kedua, kebijakan pengembangan produksi sapi di dalam negeri masih menggunakan konsep-konsep konvensional. Misalnya, orientasi pengembangan masih di wilayah-wilayah Pulau Jawa, NTB dan NTT. Programnya, masih mengandalkan konsep lama. Misalnya, program Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting (Upsus Siwab) pada tahun 2020 berganti nama menjadi Sapi Kerbau Komoditas Andalan Negeri (SIKOMANDAN). Seolah tidak ada terobosan baru dalam mengembangkan peningkatan populasi di dalam negeri, yang tumbuh lambat (1,3%/tahun) jika dibandingkan dengan kecepatan pertumbuhan permintaannya (6,4%/tahun). 
 
Ketiga, berdasarkan pengalaman masa lalu, dan pengakuan menteri pertanian di era SBY,  bahwa kegagalan mencapai swasembada daging sapi adalah karena salah hitung. Pada situasi seperti ini patut diduga hadirnya para penikmat bebas diluar pelaku bisnis daging sapi, telah memanfaatkan situasi ini untuk meraup keuntungan makin memperkeruh suasana kemelut bisnis daging sapi, papar Rochadi Tawaf kepada Bisnis Bandung (BB),  di Bandung. 
 
Pengendalian Harga
 
Berdasarkan kepada berbagai fenomena tersebut, agar fluktuasinya dapat dikendalikan maka kebijakan yang diperlukan adalah sebagai berikut: Pertama, perlunya komitmen yang kuat antara kebijakan pembangunan sapi potong sesuai dengan politik anggaran yang ditetapkan oleh DPR. Jika perlu, membentuk semacam kelembagaan badan otorita pengelolaan swambada daging, lintas kementrian/lembaga. Bisa juga dengan menugaskan secara khusus kepada lembaga baru Bapangnas, yang memiliki otorita lintas kementrian/lembaga. Kedua, reorientasi pengembangan sapi ke wilayah-wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.  Melalui pengembangan sapi-sawit, lahan pasca tambang dan pulau-pulau kosong. Disertai dengan harmonisasi kebijakan-kebijakan pembangunan peternakan sapi yang kontra produktif. Ketiga, di era digitalisasi, pengembangan peternakan harus sudah menggunakan system digitalisasi seperti yang dilakukan di subsistem hilirnya.
 
Berkembangnya infrastruktur internet di perdesaan akan turut mendukung berbagai aplikasi yang saat ini sangat kondusif bagi pengembangan digitalisasi peternakan rakyat. Implementasi digitalisasi ini akan menjawab persoalan akurasi data yang selalu menjadi biang kerok kegagalan analisis kebijakan. Sekaligus akan mampu mengurangi atau memangkas biaya tinggi pada system rantai pasok yang selama ini dirasakan cukup panjang, karena memiliki Sistem Identifikasi Ternak Nasional secara digital.
 
Legalisasi Harga
 
Namun dibalik hal tersebut bahwa sesungguhnya, kenaikan harga bukan disebabkan  keinginan mereka namun disebabkan oleh tuntutan ekosistem bisnisnya. Oleh karenanya, respon pedagang menyikapi kenaikan harga daging sapi berupa mogok jualan, lebih terlihat  sebagai eksistensi upaya mendapatkan legalisasi harga dari semua fihak terutama konsumen dan pemerintah, pungkas Dewan Pakar PB Ikatan Sarjana dan Insinyur Peternakan Indonesia (PB ISPI) itu kepada BB.  (Dadan Firmansyah --- E-018)***

Editor: Us Tiarsa

Tags

Terkini

Rajiv Siap Wadahi Aspirasi Pemuda Kabupaten Bandung

Sabtu, 16 September 2023 | 18:30 WIB

Teladani Mahatma Gandhi, Pejuang Anti Kekerasan

Selasa, 12 September 2023 | 18:15 WIB

Catat! Ini Syarat dan Dokumen Wajib di Seleksi CPNS 2023

Senin, 11 September 2023 | 22:00 WIB
X