news

Dilema Kekalahan Indonesia di WTO dan Rencana Program Hilirisasi Nikel

Rabu, 7 Desember 2022 | 11:00 WIB
ilustrasi pertambangan nikel (Pixabay/tshekisoboman)

Bisnisbandung.com - Pengamat/Dosen Perdagangan Internasional Universitas Widyatama, Dwi Fauziansyah Moenardy S.IP,. M.I.Pol mengemukakan, Indonesia dinyatakan telah melanggar ketentuan WTO mengenai kebijakan pelarangan ekspor nikel.

Keputusan yang dikeluarkan pada 17 Oktober 2022. Gugatan dari Uni Eropa di Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait larangan ekspor bijih nikel sejak awal 2020.

Dalam putusan WTO itu dinyatakan bahwa kebijakan ekspor dan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994.

Baca Juga: Krisis Pangan, Akhiri WTO, Tegakkan Kedaulatan Pangan

Walaupun demikian keputusan dari WTO ini belum memiliki keputusan hukum tetap, dan rencana Indonesia untung mengajukan banding ke WTO.

Adapun bunyi hasil final panel report dari WTO mengenai nikel, WTO juga menolak pembelaan yang diajukan oleh pemerintah Indonesia terkait dengan keterbatasan jumlah cadangan nikel nasional dan untuk Good Mining Practice sebagai pembelaan.

Perlu dianalisis mengenai alasan pembelaan Indonesia. yang pertama yaitu keterbatasan jumlah cadangan nikel nasional, dasar pembelaan ini terbilang tidak berdasar, karena melansir Investingnews.com dari data Survei Geologi AS terbaru negara dengan penghasil nikel terbesar didunia adalah Indonesia, adapun produksi nikel RI pada tahun 2017 sebesar 345.000 metrik ton (MT), kemudian melonjak mencapai 1 juta MT pada tahun 2021, negara ini juga memiliki cadangan sebesar 21 juta MT, lalu di ikuti oleh Filipina, Rusia, Kaledonia Baru Dan Rusia.

Baca Juga: WTO Dinilai Gagal Sejahterakan Petani

Yang kedua, Good Mining Practice (GMP) atau biasa dikenal sebagai praktik pertambangan yang baik menurut UU Pertambangan memuat kidah-kaidah sebagai berikut (1) keselamatan dan kesehatan kerja; (2) keselamatan operasi pertambangaan; (3) pengelolaan dan pemantaauaan lingkungan pertambangan; (4) konservasi sumberdaya mineral dan batubara; (5) pengelolaan sisa tambang. Alasan kedua ini belum memperkuat pembelaan Indonesia dalam putusan WTO karena memamg masih menjadi program Indonesia dalam penerapan GMP.

Diluar 2 justifikasi Indonesia ini perlu dicermati bahwa perlu menilai Indonesia tidak menyalahi kebijakan perdagangan bebas, Ini kebijakan negara untuk mengoptimalkan pendapatan negara.

Program hilirisasi merupakan langkah dalam memberikan nilai tambah bagi produk Indonesia. Melalui nilai tambah tersebut pendapatan negara menjadi lebih banyak. Nikel saat ini menjadi bahan baku yang cukup strategis dalam perkembangan dunia saat ini melihat masa depan pasar nikel global nampaknya bakal cerah seiring dengan hadirnya industri kendaraan listrik (EV) yang terus tumbuh secara eksponensial.

Baca Juga: Cengkeraman WTO Intervensi Kebijakan Sektor Pertanian 

Permintaan bijih nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik komponen penting dalam fabrikasi baja tahan karat terus tumbuh. Tentu menjadikan negara dengan penghasil nikel terbesar memegang peran yang signifikan. Indonesia juga mau mengembangkan ekosistem kendaraan listrik demi mengejar target nol emisi karbon di tahun 2060.

Untuk itu, hilirisasi nikel secara masif dan konsisten harus dilakukan. Dilema kekalahan indonesia di WTO dan rencana program hilirisasi nikel perlu kita analisis secara mendalam dengan pendekatan teori pilihan rasional yang dimana perilaku Indonesia dalam mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor nikel untuk meningkatkan pendapatan negara menjadi sebuah aktivitas ekonomi yang mempengaruhi Indonesia untuk berbuat rasional dengan menunjukan perilaku memilih bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan, sehingga tindakan rasional Indonesia ini disebut tindakan ekonomi.

Halaman:

Tags

Terkini