bisnisbandung.com - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyoroti polemik penerapan royalti musik yang belakangan memicu keresahan di kalangan pelaku usaha.
Wakil Ketua Umum PHRI Bidang Kebijakan Publik, Sutrisno Iwantono, menilai ketidakjelasan regulasi dan minimnya komunikasi publik menjadi pemicu utama kebingungan ini.
Isu ini mencuat setelah terjadi kasus di Bali yang membuat banyak pelaku usaha panik karena persoalan royalti berujung pada ranah pidana.
Baca Juga: Data Ekonomi Dinilai Tak Sinkron, CELIOS Khawatir Jadi Alat Narasi Politik
“Karena apa? Karena kemudian persoalan ini kok menjadi pidana, sehingga kemudian orang menjadi ketakutan, terkejut-kejut dengan peristiwa itu,” lugasnya dilansir dari youtube Metro TV.
Menurut PHRI, situasi tersebut membuat para pelaku usaha termasuk yang bukan anggota PHRI khawatir terkena sanksi, bahkan untuk penggunaan musik yang sifatnya hanya sebagai latar belakang.
“Para pelaku itu tidak semuanya menjadi anggota PHRI. Tapi kenyataannya sekarang orang pada takut, ya merembet ke mana-mana. Yang namanya putar suara burung katanya kena, dan sebagainya. Ini masalah komunikasi yang tidak baik antara LMKN dengan masyarakat luas,” terangnya.
Baca Juga: Celios Laporkan Ke PBB, Ada Anomali Data Pertumbuhan Ekonomi Indonesia yang Dirilis BPS
PHRI menilai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta belum mengatur secara rinci batasan kewenangan lembaga pengelola royalti, serta tidak memberikan penjelasan tegas mengenai kategori usaha yang wajib membayar.
Akibatnya, ruang tafsir menjadi terlalu luas dan menimbulkan ketidakpastian di lapangan. Sutrisno menekankan pentingnya membedakan pemanfaatan musik di berbagai jenis usaha.
“Kemudian juga harus dipahami bahwa pengertian komersial itu seperti apa. Kalau kita lihat di restoran, jualannya kan makanan, bukan lagu. Lagu itu hanya sebagai latar belakang saja. Yang kita jual itu makanan,” unkapnya.
Ia mencontohkan, restoran atau kafe menjual makanan dan minuman sehingga musik hanya menjadi pelengkap suasana, berbeda dengan usaha karaoke yang memang menjual lagu sebagai produk utama.
“Nah, kemudian lain dengan karaoke. Kalau karaoke itu kan yang dijual memang lagunya. Dan ini tentu ada kekaburan di situ tentang komersial dan berapa proporsinya,” tuturnya.
Artikel Terkait
Putar Kicau Burung di Kafe Biar Bebas Royalti? Ketua LMKN: Tetap Harus Bayar, Itu Juga Lagu!
Sengketa Royalti, MK Ungkap WR Supratman Bisa Jadi Orang Terkaya Kalau Hak Cipta Diartikan Harfiah
AKSI Ungkap Masalah Sistemik Pembayaran Royalti: Pendapatan Performing Rights Dinilai Terlalu Kecil
Dilema Royalti Musik, Ketua LMKN: Di Era Saya Memimpin Ini Paling Transparan
Bemby Noor Ragukan Transparansi Pembayaran Royalti Lagu dari Restoran dan Kafe
DPR Usul Pengusaha Besar Wajib Bayar Royalti Lagu, UMKM Dapat Pengecualian