bisnisbandung.com - Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) kembali mengungkap persoalan serius dalam sistem pembayaran royalti bagi pencipta lagu di Indonesia.
Sekretaris Jenderal AKSI, Doa di Badai Hollo, menyoroti rendahnya pendapatan yang diterima para komposer dari performing rights, yang mencerminkan adanya persoalan struktural dalam sistem distribusi royalti saat ini.
Menurut AKSI, sebagian besar pencipta lagu hanya menerima royalti dalam jumlah yang sangat kecil dari performing rights, meskipun karya mereka banyak diputar di tempat umum seperti kafe, restoran, atau konser.
Baca Juga: Bupati Subang Reynaldy Putra Tutup Galian Tanah Ilegal, Lindungi Lingkungan dan Masyarakat
“Ini harus saya sampaikan bahwa rata-rata pendapatan performing rights, ya penagihannya itu menurut saya sangat kecil,” jelasnya dilansir dari youtube tvOneNews.
“Jadi kita juga rata-rata hanya dapat ratusan ribu, kecuali pembayaran yang ditotalkan oleh collecting-collecting di bidang lain,” terusnya.
Situasi ini memunculkan pertanyaan tentang efektivitas sistem yang dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), terutama dari sisi digitalisasi dan transparansi data pemakaian lagu.
Baca Juga: Kekuasaan Politik Jokowi Makin Kerempeng, Amien Rais: Usai Lengser
“Artinya, secara logika, jika sistem dari LMK atau LMKN ini bekerja dengan baik dalam arti bukan manual sistem, alias terdigitalisasi dengan baik saya rasa pencipta lagu juga nggak akan rewel gitu,” lugasnya.
Badai menjelaskan bahwa beberapa komposer memang menerima pembayaran dalam jumlah besar, namun biasanya berasal dari gabungan pendapatan yang tidak hanya mencakup performing rights, melainkan juga royalti digital, distribusi internasional, serta platform streaming.
Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi performing rights terhadap total pendapatan royalti masih sangat minim.
Selain masalah nominal, AKSI juga menyoroti lemahnya penegakan hukum atas pelanggaran hak cipta.
Meskipun Undang-Undang Hak Cipta telah mengatur sanksi tegas terhadap penggandaan atau penggunaan karya tanpa izin, implementasinya di lapangan dinilai tidak berjalan efektif. Komposer kerap menghadapi kendala hukum meskipun memiliki legal standing yang kuat.
Salah satu kasus yang disebutkan melibatkan pelanggaran atas hak mechanical, ketika lagu digandakan dalam bentuk piringan hitam tanpa izin.
Baca Juga: Silvester Matutina Tak Juga Jalani Hukuman, Mahfud MD Sebut Ada Perlindungan Kejaksaan
Artikel Terkait
PP 56 /2021: Kafe, Toko Wajib Bayar Royalti Saat Putar Lagu
Adi Prayitno Soroti Gugatan Ariel dkk Soal Royalti: Ternyata Sama Saja
Pelaku Usaha Terbebani Royalti, Ternyata Begini Hitung-Hitungan Tarifnya
Suara Alam Diputar di Kafe Juga Bisa Kena Royalti, LMKN Jelaskan Mekanismenya
Putar Kicau Burung di Kafe Biar Bebas Royalti? Ketua LMKN: Tetap Harus Bayar, Itu Juga Lagu!
Sengketa Royalti, MK Ungkap WR Supratman Bisa Jadi Orang Terkaya Kalau Hak Cipta Diartikan Harfiah