Bisnisbandung.com - Arfa'i, seorang ahli hukum tata negara dari Universitas Jambi (UNJA), mengamati permohonan pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK)
Yang diajukan oleh pengacara Mochamad Adhi Tiawarman dari Lebak.
Permohonan tersebut meminta MK untuk menguji persyaratan menjadi hakim konstitusi yang terdapat dalam UU MK.
Baca Juga: UU MK kembali diuji, Syarat Menjadi Hakim MK minta ditambahkan Agar Hakim MK Independen.
Dalam permohonannya, pengacara tersebut meminta MK untuk menambahkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020
Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Permohonan ini mengharuskan hakim MK untuk tidak memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda hingga derajat ketiga dengan Presiden dan/atau anggota DPR.
Menurut Arfa'i, MK adalah lembaga peradilan yang memiliki kaitan dengan politik dan putusan politik.
Oleh karena itu, MK harus benar-benar bebas dari pengaruh politik, termasuk hubungan saudara.
Arfa'i menyatakan, "Hakim MK yang berasal dan diseleksi oleh lembaga yang orang-orangnya berasal dari politik menjadi sulit
Untuk mempertahankan independensinya ketika terlibat dalam hubungan keluarga, seperti hakim yang berasal dari DPR atau Presiden."
Baca Juga: MK Memperpanjang Usia Pensiun Panitera MK Menjadi 65 Tahun
Arfa'i juga berpendapat bahwa hakim MK dapat terjerat dalam konflik kepentingan karena MK mengadili proses dan putusan politik yang terkait dengan beragam kepentingan,
Baik itu dalam konteks pribadi, lembaga, bisnis, atau pengusaha dalam kasus tertentu.
Konflik kepentingan bisa bersifat langsung atau tidak langsung melalui pengaruh orang lain.