Bisnisbandung.com - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, mengungkapkan kekhawatiran atas meningkatnya konsumsi domestik sawit, terutama untuk kebutuhan energi melalui program mandatori biodiesel.
Meskipun langkah ini dinilai positif dalam memperkuat ketahanan energi nasional, Eddy menilai bahwa lonjakan konsumsi dalam negeri perlu diwaspadai karena bisa berdampak langsung pada devisa dari sektor ekspor sawit.
“Ini yang harus kita waspadai. Jangan sampai terus begini, akhirnya yang kesedot adalah devisa. Untuk ekspor pasti akan dikurangi, pasti akan diutamakan dulu kepentingan dalam negeri,” jelasnya dilansir Bisnis Bandung dari youtube CNBC Indonesia.
Baca Juga: Kasus BJB hingga Isu Lisa Mariana, Komentator Politik: Ridwan Kamil Menuai Badai
Dalam penilaiannya, konsumsi sawit dalam negeri terus mengalami pertumbuhan signifikan, terutama karena perluasan kebijakan biodiesel yang kini telah melampaui penggunaan sawit untuk kebutuhan pangan.
Namun, kondisi ini menimbulkan tantangan baru: sebagian besar insentif untuk biodiesel serta program peremajaan sawit rakyat masih bergantung pada dana hasil ekspor.
Jika ekspor menurun karena kebutuhan dalam negeri semakin mendominasi, potensi berkurangnya devisa pun semakin besar.
Eddy menegaskan bahwa saat ini devisa dari ekspor sawit memang masih cukup kuat, meskipun menunjukkan tren penurunan.
Baca Juga: Pengamat Ini Geram: Dolar Naik, Harga Melambung, Tapi Masih Ada yang Bisa Bilang Bodo Amat?
Tetapi, jika tren konsumsi domestik terus melonjak tanpa dibarengi peningkatan produksi, dikhawatirkan Indonesia tidak akan memiliki cukup pasokan untuk pasar internasional.
Akibatnya, neraca perdagangan berisiko terganggu dan potensi defisit bisa muncul dalam jangka menengah hingga panjang.
Menurutnya, langkah antisipatif yang paling penting adalah percepatan program peremajaan sawit rakyat.
Eddy menyoroti rendahnya angka peremajaan saat ini sebagai hambatan besar dalam peningkatan produktivitas nasional.
Baca Juga: Langkah Evakuasi Warga Gaza Sudah Terlambat, Ini Kata Pengamat Timur Tengah