Baca Juga: Peluang Gibran Bisa Diturunkan Sebagai Wapres, Beber Zainal Arifin Mochtar
Lebih lanjut, UAS memberikan pesan penting yang bernada kritik tajam. “Ustadz mau titip apa? Kami mau ke Angkara, Turki. Tolong sampai kau di Angkara, kau cari makam kuburan Mustafa Kemal Atatur. Habis itu kau foto.
Karena kawan ku waktu di Mesir kuliah dulu dari Turki cerita. Gak tanya Mustafa Kemal Atatur, sekatunya 6 bulan tak mati-mati. Ketika ditanam di dalam tanah, melompat jenazahnya laik ke atas tanah.
Ditanam ke dalam tanah, tak diterima tanah. Akhirnya disemen di atas tanah. Dipoto makamnya, dikirimkan ke nomor WhatsApp saya. Saya tengok, memang betul Ustadz, kuburnya di atas tanah. Gara-gara tak diterima tanah.”
UAS pun mengaitkan fenomena tersebut dengan sikap Ataturk semasa hidup.
Baca Juga: Gibran Bisa Dimakzulkan? Ini Proses Konstitusional yang Harus Ditempuh, Kata Pakar Hukum Tata Negara
“Gara-gara apa? Karena punya kekuasaan. Tapi justru dipakai untuk menghancurkan agama Allah SWT. Tarekat-tarekat dibubarkannya. Masjid dirubahnya jadi museum. Azan tidak boleh pakai bahasa Arab.
La hawla wa la quwwata illa billah. Mana dia sekarang? Mati. Fir'aun, mampus. Ustaz, janganlah kasar-kasar,” tutupnya dengan nada mengingatkan, meski tetap menggelegar.
Perbedaan pandangan ini membuka ruang diskusi yang luas di tengah masyarakat.
Di satu sisi, Presiden Prabowo menempatkan Ataturk sebagai simbol modernitas dan ketegasan dalam memimpin negara.
Baca Juga: Soal Ancaman Ormas, Dedi Mulyadi Tegas: Kritik Saya Terima Ancaman Tidak
Di sisi lain, UAS dan banyak tokoh ulama melihat Ataturk sebagai sosok yang menentang nilai-nilai Islam dan merusak warisan syariat.
Akankah perbedaan ini berdampak pada hubungan antara pemerintah dan umat Islam di Indonesia?
Ataukah justru menjadi pintu dialog lebih terbuka tentang sejarah dan kepemimpinan dalam perspektif yang lebih kritis?
Yang pasti, perdebatan soal Ataturk ini menunjukkan bahwa sejarah bukan sekadar masa lalu, tapi juga cermin masa depan bangsa.***