Bisnisbandung.com – Pernahkah Anda mendengar ada anak usia sekolah yang memiliki cita-cita menjadi guru? Guru yang dulu dikenal sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” memang bukan profesi yang menarik dan bergengsi lagi.
Dalam filosofi Jawa guru adalah akronim dari “digugu dan ditiru”.
Arti kata “digugu” adalah setiap perkataan dan perbuatannya harus bisa dipertanggungjawabkan. Sedangkan kata “ditiru” artinya setiap sikapnya pantas dijadikan tauladan bagi siswa.
Baca Juga: Sistem Anti-Korupsi Pertamina Dinilai Gagal Total, Eks KPK Desak Tindakan Nyata
Tugas menjadi guru kini semakin sulit seiring dengan berkembangnya teknologi dan internet yang memudahkan siswa untuk menggugu dan meniru hal-hal yang tidak diajarkan di sekolah namun memiliki pengaruh lebih besar bagi kehidupan siswa.
Proses pengajaran akan lebih mudah diterima jika siswa mengenal gurunya dan begitu sebaliknya.
Menjadi guru harus memiliki kesungguhan hati, ketegaran, kesabaran dan kekuatan agar berhasil mendidik generasi yang rapuh dan penuh tantangan.
Baca Juga: Ahok Klaim Punya Rekaman Dosa-Dosa Pertamina, Alifurrahman: Ini Hal Sangat Luar Biasa
“Engga mau ah, engga mau jadi guru. Jadi guru itu susah, cape apalagi kalau murid-muridnya pada bandel,” begitu yang dikatakan seorang anak Kelas 4 SD ketika ditanya apakah ingin menjadi guru?
Yang tidak pernah dirasakan, tidak akan pernah disukai seperti istilah tak kenal maka tak sayang.
Ternyata ada kebahagiaan yang dirasakan oleh guru dalam mengajar. Kebahagiaan itu tidak akan pernah bisa dirasakan jika tidak memiliki pengalaman mengajar secara langsung.
Baca Juga: Ribuan Buruh Kena PHK, Irma Suryani Ingatkan Wamanker Jangan Terlalu Banyak Bicara
Untuk memberikan pengalaman mengajar agar siswa bisa mengerti bagaimana rasanya menjadi guru, dibutuhkan experiential learning. Pembelajaran berdasarkan pengalaman akan lebih efektif dibanding sekedar teori atau pemahaman.