MENURUT laporan lembaga riset Canalys, pada kuartal keempat 2018, pengiriman smartphone Indonesia mencapai 9,5 juta unit, tumbuh 8,6% dibandingkan periode sama 2017.
Pertumbuhan yang cukup tinggi itu, menggenapi jumlah permintaan sepanjang 2018, menjadi total 38 juta unit. Ini adalah rekor baru, karena terdapat kenaikan hingga 17,1% dibandingkan periode 2017.
Canalys mengungkapkan bahwa persaingan vendor smartphone di Indonesia meningkat secara dramatis pada 2018. Mobilisasi sumber daya dan strategi pemasaran yang mumpuni, membuat Top five atau lima besar vendor, sekarang menguasai 80% pangsa pasar. Jauh meningkat dibandingkan 65% setahun yang lalu.
Hingga kuartal keempat 2018, daftar lima vendor penguasa smartphone di Indonesia, tidak mengalami perubahan dibandingkan kuartal sebelumnya.
Samsung masih bertahan di posisi puncak dengan market share 25,4%, diikuti Xiaomi 20,5%, Oppo 19,5%, Vivo 15,9%, dan Advan 4,1%.
Sebelumnya pada kuartal ketiga 2018, riset terpisah dari IDC, mengungkapkan bahwa Samsung menggaet 28% market share, ditempel ketat oleh Xiaomi 24%, Oppo 19%, Vivo 11%, Advan 5%, dan vendor lainnya 13%.
Meski dikepung vendor-vendor China, sejauh ini Samsung masih mampu merajai pasar smartphone di Tanah Air. Ini adalah tahun keenam bagi raksasa Korea itu mempertahankan posisi puncak, setelah pertama kali meraih predikat itu pada 2012.
Dengan mengenggam 25,4% pangsa pasar, Samsung tumbuh 21,5% dibandingkan kuartal yang sama tahun sebelumnya, dengan lebih dari 2,4 juta unit dikirimkan.
Sayangnya, posisi market leader yang dipegang Samsung terbilang rawan dikudeta pemain lain. Pasalnya, secara tahunan (YoY) pertumbuhan Samsung terlihat melambat menjadi 15% di sepanjang 2018. Padahal dalam dua tahun sebelumnya, pertumbuhan Samsung mencapai 20,9% (2017) dan 25,8% (2016).
Sejumlah faktor disinyalir menjadi penyebab terus menurunnya market share Samsung. Alasan utama, tentu saja adalah agresifitas vendor-vendor China yang rajin mengguyur pasar. Beragam produk diluncurkan dengan fitur dan teknologi terdepan, namun dengan harga yang lebih terjangkau.
Samsung juga terlihat belum terlalu agresif dalam menggarap pasar online yang cenderung membesar karena membanjirnya pemain-pemain e-commerce. Padahal, meski belum terlalu besar, pasar e-commerce sangat prospektif dalam menjaring segmen milenial yang doyan belanja secara daring.
Di sisi lain, konsumen kini tak lagi fanatik terhadap merek Samsung. Apalagi buat konsumen yang tergolong value for money. Smartphone buatan Samsung dipersepsi lebih mahal, padahal spesifikasi terbilang mirip dengan produk pesaing yang dijual lebih murah.
Faktor yang juga berperan, adalah kejenuhan konsumen terhadap merek Samsung. Dari seluruh vendor, hanya Samsung yang memiliki line up lengkap. Menyebar dari segmen bawah, menengah hingga atas.
Namun, hal itu tentu membuat personality dan kebanggaan terhadap brand tak lagi kuat. Terutama segmen atas yang cenderung menjadikan smartphone sebagai fashion statement. Kelompok ini tak ingin smartphone yang digunakannya sama, dengan kebanyakan orang.