Selain berbelitnya birokrasi, para pedagang juga menyoroti dasar klaim Pemda atas tanah Sayati Indah. Menurut Edi, Pemda tidak bisa membuktikan adanya transaksi pembelian pasar di hadapan pengadilan.
“Dasar pembelian itu mereka tidak bisa membuktikan. Karena memang murni Pasar Sayati Indah itu swadaya. Tanahnya dibebaskan oleh warga, dibangun dananya dari warga,” ujarnya.
Lebih jauh, pencatatan aset di Pemda juga menimbulkan tanda tanya. Di BKAD, Pasar Sayati ditulis sebagai bagian dari Pasar Margahayu dan Sayati.
Padahal, menurut Edi, Pasar Margahayu memang jelas milik Pemda dengan lokasi di Desa Margahayu Selatan. Sementara Pasar Sayati berdiri di Desa Sayati, meskipun keduanya sama-sama berada di Kecamatan Margahayu.
“Seharusnya tidak bisa disatukan, karena berbeda desa dan berbeda asal-usul kepemilikan,” tegasnya.
Selain itu, para pedagang juga mempertanyakan mengapa kios-kios di Pasar Sayati Indah bisa memiliki SPPT PBB (Surat Pajak Bumi dan Bangunan) atas nama pemilik kios. Hal itu tidak masuk akal bila tanah tersebut memang diklaim sebagai aset Pemda.
Kasus ini menunjukkan betapa lemahnya eksekusi putusan pengadilan di tingkat daerah. Meski telah mengantongi putusan inkrah dari MA, para pedagang masih harus berhadapan dengan tembok birokrasi yang rumit.
“Sudah lama, sudah lelah memperjuangkan sejengkal tanah yang ada di Pusat Perbelanjaan Sayati Indah. Putusan MA 2020 jelas menyatakan tanah milik bersama pedagang, tapi tidak ada nilainya di mata mereka,” keluh Edi.
Para pedagang berharap Pemda Kabupaten Bandung maupun Bupati bisa segera menindaklanjuti putusan hukum tersebut. Bagi mereka, perjuangan ini bukan hanya soal sertifikat, melainkan soal kepastian hukum dan perlindungan hak warga.***
Baca Juga: Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat Soroti Tantangan Politik, Ekonomi, dan Budaya di HUT RI ke-80