Kang Dedi mungkin tidak bermaksud demikian. Ia ingin membangun, memperkuat, dan membuka kesempatan. Tapi sistem yang melingkupi dunia hari ini tidak sepenuhnya berpihak pada keadilan. Kapitalisme global telah membentuk jalan sendiri, yakni jalan yang tidak selalu bisa ditempuh dengan niat baik saja.
Luka yang Tak Terlihat
Tiga negeri muslim, Indonesia, Uni Emirat Arab, dan Pakistan yang bertemu dalam bingkai kerja sama. Namun di balik keindahan itu, masih ada sekat yang tak tampak yaitu nation state.
Dulu, negeri-negeri ini bersaudara dalam satu tubuh umat. Kini, mereka berjalan di jalur yang berbeda, menempuh arah yang kadang berlawanan.
Seorang tokoh Islam kontemporer, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, pernah berkata dalam kajian INSISTS (2024): “Kapitalisme membuat umat Islam sibuk bersaing, bukan bersatu. Mereka disatukan oleh ekonomi, bukan akidah.”
Kata-kata itu menggema di benak saya. Ketika kerja sama antarnegara muslim masih dibangun dengan pola pikir kapitalistik, maka keuntungan akan selalu jatuh ke tangan para pemodal, bukan umat.
Di situlah ironi besar umat Islam hari ini, bersaudara secara iman, tapi tercerai secara sistem.
Baca Juga: Janji Purbaya Bisa Jadi Bumerang, Achmad Nur Hidayat: Prabowo Bisa Kena Getahnya!
Ketika Islam Menjadi Arah
Namun Islam tak pernah kehilangan arah. Dalam sistemnya, hubungan antarnegara tidak dibangun di atas dominasi, tapi di atas kemuliaan dakwah dan tolong-menolong dalam kebaikan.
Pakar ekonomi Islam Nida Sa’adah, S.E., M.E.I., Ak. menegaskan dalam Kajian Ekonomi Islam Global, 2023: “Motif perdagangan internasional sistem Islam adalah membangun kemandirian dan menyebarkan risalah Islam.”
Dalam sistem Islam, Baitulmal mengelola kekayaan negara untuk rakyat. Kekayaan alam dikuasai oleh negara, bukan asing. Pajak tidak menindas, dan zakat menjadi jaminan sosial yang nyata. Negara tidak berlomba menarik investor asing, tapi membangun kekuatan ekonomi sendiri.
Rasulullah Saw. bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang, dan api.” (HR. Abu Dawud, no. 3477, disahihkan oleh Al-Albani).
Hadis ini sederhana tapi revolusioner, bahwa sumber daya bukan alat bisnis, melainkan amanah yang harus dijaga untuk kesejahteraan bersama.
Dalam sejarah, Umar bin Khattab tidak menunggu investor untuk membangun rakyatnya. Ia turun ke jalan, memastikan tak ada satu pun rakyatnya kelaparan.
Artikel Terkait
Pak, Tahun Depan Aku Masih Bisa Ngajar, Nggak?
Butiran Air Mata di Karung Beras
Saat Gizi yang Dijanjikan Membawa Nestapa
Generasi Patah Sayap, Mimpi yang Terkubur
Mimpi di Balik Gerobak
Bandung di Persimpangan