Bandung di Persimpangan

photo author
- Minggu, 5 Oktober 2025 | 20:00 WIB
Gedung Sate di Bandung, Jawa Barat (dok Instagram @jabarprovgoid)
Gedung Sate di Bandung, Jawa Barat (dok Instagram @jabarprovgoid)

Rafi menunduk. Hatinya makin gelisah. Ia tahu sahabatnya benar.

Baca Juga: Generasi Patah Sayap, Mimpi yang Terkubur

Cermin Kapitalisme

Mereka terdiam sejenak, menatap lalu lintas yang padat di Jalan Asia-Afrika.

“Fi, kau tahu? Dalam sistem kapitalisme, kota tanpa sumber daya besar seperti Bandung hanya bisa berharap dari pariwisata. Tapi, pariwisata itu bukan tanpa harga. Miras, prostitusi, narkoba, judi, semua selalu melingkari kawasan wisata. Rasulullah sudah bersabda, ‘Khamar adalah induk segala kejahatan’ (HR Ath-Thabrani). Tapi demi investor, semuanya dilegalkan. Rakyat? Mereka hanya jadi penonton, atau buruh dengan upah murah,” kata Adit lirih.

Rafi terdiam. Ia merasakan getirnya kebenaran itu. Ibunya bekerja keras, sementara hotel-hotel megah berdiri angkuh.

Harapan dari Islam

“Jadi, apa kita hanya bisa pasrah, Dit? Apakah Bandung tidak punya jalan lain selain pariwisata?” tanya Rafi akhirnya.

Adit tersenyum. “Islam punya jalan, Fi. Dalam Islam, pendapatan negara tidak bergantung pada pariwisata. Ada fai’, ghanimah, kharaj, jizyah, juga kepemilikan umum seperti tambang dan hutan. Itu semua untuk kesejahteraan rakyat. Pariwisata dalam Islam tetap ada, tapi bukan untuk syirik atau hedonisme. Pariwisata dalam Islam jadi sarana tafakur dan dakwah.”

“Dakwah?” Rafi mengernyit.

“Iya, Fi. Ingat firman Allah: ‘Berjalanlah kamu di muka bumi, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu’ (QS Al-An’am: 11). Itulah pariwisata dalam Islam. Melihat alam, merenungi sejarah, memperkuat iman. Rasulullah saw. tidak membangun gedung konser, tapi membangun peradaban. Kota Madinah bersih, adil, dan bermartabat. Itu warisan sesungguhnya.”

Gerimis pun reda. Malam Bandung semakin hidup dengan suara kendaraan dan musik dari kafe.

Rafi menatap langit. “Bandung 215 tahun. Tapi apakah kita masih tahu arah? Apakah kita ingin Bandung hanya jadi kota pesta, atau kota iman?”.***

Halaman:

Artikel Selanjutnya

Sungai Itu Masih Ingat Namamu

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Alit Suwirya

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

SMK Go Global dan Arah Pendidikan Kita

Senin, 8 Desember 2025 | 19:00 WIB

Ketika Budaya Masuk, Keyakinan Tersentuh

Senin, 1 Desember 2025 | 11:00 WIB

Kisah Desa Wisata yang Mencari Jalan Pulang

Senin, 1 Desember 2025 | 10:01 WIB

Judol, Ketika Kebebasan Berubah Menjadi Jerat

Jumat, 21 November 2025 | 14:20 WIB

Di Antara Idealisme dan Royalti

Rabu, 12 November 2025 | 06:00 WIB

Percakapan tentang Setetes Kehidupan

Sabtu, 1 November 2025 | 18:00 WIB

Jabat Tangan di Bawah Langit Islam

Senin, 13 Oktober 2025 | 20:35 WIB

Bandung di Persimpangan

Minggu, 5 Oktober 2025 | 20:00 WIB

Mimpi di Balik Gerobak

Rabu, 24 September 2025 | 09:45 WIB

Generasi Patah Sayap, Mimpi yang Terkubur

Senin, 15 September 2025 | 21:30 WIB

Saat Gizi yang Dijanjikan Membawa Nestapa

Jumat, 5 September 2025 | 12:30 WIB

Butiran Air Mata di Karung Beras

Jumat, 18 Juli 2025 | 17:00 WIB

Pak, Tahun Depan Aku Masih Bisa Ngajar, Nggak?

Selasa, 15 Juli 2025 | 10:30 WIB

Sungai Itu Masih Ingat Namamu

Sabtu, 12 Juli 2025 | 11:30 WIB

Sebuah Suara dari Desa untuk Negeri

Selasa, 1 Juli 2025 | 21:00 WIB

Cara Mendengar Suara Tuhan, Secara Mudah

Minggu, 29 Juni 2025 | 19:30 WIB
X