Sungai Itu Masih Ingat Namamu

photo author
- Sabtu, 12 Juli 2025 | 11:30 WIB
Wisatawan Menikmati Keindahan Alam Diatas Kapal Pinisi di Objek Wisata Glamping Lakeside, Rancabali, Kabupaten Bandung. (Bisnisbandung.com/ Yuwana Kurniawan)
Wisatawan Menikmati Keindahan Alam Diatas Kapal Pinisi di Objek Wisata Glamping Lakeside, Rancabali, Kabupaten Bandung. (Bisnisbandung.com/ Yuwana Kurniawan)

Istrinya, Ayu, datang membawa segelas air. "Raka... sungai kecil di sebelah ladang itu mulai surut. Kata tetangga, karena lahan atasnya dibabat untuk perumahan."

Raka mengangguk pelan. "Kalau tak ada penataan yang adil, kita hanya akan menyaksikan sawah-sawah ini menjadi aspal, dan anak-anak kita menjadi kuli di kampung sendiri."

Suara Alam yang Tak Terdengar

Suatu malam, dalam mimpinya, Pak Anwar bertemu almarhum ayahnya.

"Anwar... ingat ketika kau kecil, kita tanam pohon jati di bukit itu?"

"Iya, Yah. Tapi bukit itu sudah rata. Sekarang jadi gudang."

Ayahnya menatapnya dengan lembut. "Tanah tak pernah menuntut banyak. Ia hanya ingin dihormati. Jika manusia melupakan itu, maka tanah akan bicara lewat bencana."

Pak Anwar terbangun. Hatinya bergetar. Esok paginya, ia ajak tetangganya berkumpul. Mereka sepakat menanam kembali pohon-pohon di tepi sungai. Bukan karena mereka menolak pembangunan, tapi karena mereka tahu bahwa hidup tak bisa terus mengorbankan alam.

Baca Juga: Di Balik Pintu Besi Kosambi: Sebuah Pelajaran tentang Kepekaan dan Tanggung Jawab

Harapan dalam Langkah Baru

Beberapa bulan kemudian, di sebuah forum warga dan pemerintah, Dita berdiri di depan mikrofon.

“Kita sedang menulis ulang masa depan. Tata ruang yang berimbang adalah jembatan antara kemajuan dan keberlanjutan. Kami, anak-anak muda birokrasi, ingin membuktikan: pemerintah bisa mendengar suara akar rumput, dan alam bisa hidup berdampingan dengan pertumbuhan.”

Tepuk tangan menggema. Di sudut ruangan, Pak Anwar dan Raka saling tersenyum. Mereka tahu, jalan masih panjang. Tapi setidaknya, langkah sudah dimulai.

Penutup

Membangun negeri bukan sekadar menanam beton, tapi juga merawat akar. Menyusun rencana tata ruang bukan sekadar memetakan wilayah, tapi juga mendengar suara alam dan warganya. Pemerintah bukan musuh, rakyat bukan beban. Kita hanya butuh saling mengingatkan bahwa bumi ini titipan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Alit Suwirya

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

SMK Go Global dan Arah Pendidikan Kita

Senin, 8 Desember 2025 | 19:00 WIB

Ketika Budaya Masuk, Keyakinan Tersentuh

Senin, 1 Desember 2025 | 11:00 WIB

Kisah Desa Wisata yang Mencari Jalan Pulang

Senin, 1 Desember 2025 | 10:01 WIB

Judol, Ketika Kebebasan Berubah Menjadi Jerat

Jumat, 21 November 2025 | 14:20 WIB

Di Antara Idealisme dan Royalti

Rabu, 12 November 2025 | 06:00 WIB

Percakapan tentang Setetes Kehidupan

Sabtu, 1 November 2025 | 18:00 WIB

Jabat Tangan di Bawah Langit Islam

Senin, 13 Oktober 2025 | 20:35 WIB

Bandung di Persimpangan

Minggu, 5 Oktober 2025 | 20:00 WIB

Mimpi di Balik Gerobak

Rabu, 24 September 2025 | 09:45 WIB

Generasi Patah Sayap, Mimpi yang Terkubur

Senin, 15 September 2025 | 21:30 WIB

Saat Gizi yang Dijanjikan Membawa Nestapa

Jumat, 5 September 2025 | 12:30 WIB

Butiran Air Mata di Karung Beras

Jumat, 18 Juli 2025 | 17:00 WIB

Pak, Tahun Depan Aku Masih Bisa Ngajar, Nggak?

Selasa, 15 Juli 2025 | 10:30 WIB

Sungai Itu Masih Ingat Namamu

Sabtu, 12 Juli 2025 | 11:30 WIB

Sebuah Suara dari Desa untuk Negeri

Selasa, 1 Juli 2025 | 21:00 WIB

Cara Mendengar Suara Tuhan, Secara Mudah

Minggu, 29 Juni 2025 | 19:30 WIB
X