bisnisbandung.com - Kondisi ekonomi Indonesia saat ini tengah menghadapi tekanan berat, yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat.
Fenomena meningkatnya penggunaan layanan paylater dan lonjakan aktivitas di pegadaian menunjukkan bahwa banyak warga kini terpaksa mengandalkan utang demi memenuhi kebutuhan hidup.
Pada saat yang sama, tingkat tabungan justru menurun, memperkuat indikasi bahwa cadangan dana pribadi masyarakat mulai terkuras.
Guru Besar Ekonomi Universitas Airlangga, Rahma Gafmi menjelaskan, dilansir dari youtube Kompas TV bahwa tren ini tidak lepas dari berbagai tekanan eksternal dan internal.
Baca Juga: Ramai Bendera One Piece Berkibar, DPR Minta Aparat Waspadai Potensi Provokasi
Mulai dari fragmentasi geoekonomi global, volatilitas harga komoditas, hingga ketidakpastian iklim dan geopolitik, semua turut memengaruhi stabilitas ekonomi nasional.
Data menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar 0,98% pada triwulan I 2025 jika dibandingkan kuartal sebelumnya.
Pertumbuhan ekonomi pun melambat, dari 5,11% pada tahun 2024 menjadi hanya 4,87% pada awal 2025.
Kondisi ini juga diperburuk oleh turunnya Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur selama tiga bulan berturut-turut, menandakan lemahnya sektor industri akibat minimnya permintaan domestik dan global.
Baca Juga: Kematian Arya Daru Masih Menyisakan Tanda Tanya, Kriminolog Nilai Kepolisian Timbulkan Kebingungan
Selain itu, jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) mengalami lonjakan signifikan. Hingga September 2024, tercatat 352.990 pekerja kehilangan pekerjaan, naik lebih dari 25% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Sektor manufaktur, terutama tekstil dan produk turunannya, menjadi penyumbang terbesar angka PHK, disusul sektor jasa serta pertanian, kehutanan, dan perikanan.
“Nah, sektor manufaktur ini, khususnya yang kemarin juga marak adanya PHK karena factory tutup dan sebagainya, itu sangat berdampak karena berhubungan dengan tekstil dan juga produk turunannya,” jelasnya.
Baca Juga: Jawab Kritik Atalia Soal Ruang Kelas Padat, Dedi Mulyadi: Hanya 38 Sekolah, Itu pun Terpaksa