bisnisbandung.com - Pusat perbelanjaan di Indonesia sedang menghadapi fenomena baru, kunjungan yang tinggi, tetapi dengan daya beli yang rendah.
Menurut Tedy Marco, Wakil Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta, meskipun jumlah pengunjung mal meningkat selama Ramadan hingga Lebaran, hal ini tidak berbanding lurus dengan angka penjualan.
“Kenaikannya bisa 20 sampai 25% dari waktu-waktu sebelum Ramadan atau pasca Lebaran. Tapi, walaupun ramai, kunjungannya semu. Mal memang ramai, tapi daya belinya tidak tinggi,” ujarnya dilansir dari youtube CNBC Indonesia.
Baca Juga: Sidang Isbat 1 Syawal 1446 H Digelar 29 Maret, Ini Penjelasan Menteri Agama Nasaruddin Umar
Pengunjung ramai, namun hanya sedikit yang benar-benar berbelanja barang kebutuhan seperti pakaian dan sepatu.
Fenomena ini tercermin dari kebiasaan belanja masyarakat yang berubah. Jika sebelumnya konsumen mungkin membeli beberapa potong pakaian dalam sekali kunjungan, kini jumlah barang yang dibeli menurun signifikan.
Sebagian besar pengunjung justru mengalihkan belanja mereka ke sektor hiburan dan kuliner di dalam mal, seperti restoran, kafe, dan area rekreasi.
“Jadi, mal tetap ramai, tetapi pembelian kebutuhan seperti baju tidak seramai tahun-tahun sebelumnya. Masyarakat lebih senang belanja di restoran, kira-kira begitu,” terangnya.
Baca Juga: Ormas Minta THR Saat Lebaran? Ini Kata Wamenag Romo Syafii
Meski penjualan ritel cenderung stagnan dibandingkan tahun lalu, Tedy mengakui bahwa pusat perbelanjaan tetap menghadapi tantangan besar.
Selain melemahnya daya beli, kehadiran e-commerce memberikan lebih banyak opsi bagi konsumen.
Namun, dampaknya terhadap kunjungan ke mal tidak terlalu signifikan karena belanja online tidak mampu menggantikan pengalaman belanja fisik sepenuhnya.
Belanja di mal memberikan pengalaman langsung yang tidak bisa ditemukan secara online, terutama ketika konsumen ingin mencoba produk sebelum membeli.
Baca Juga: PKB Gelar Mudik Gratis, Cak Imin: Habiskan Uang di Kampung untuk UMKM!