Jika tarif impor untuk komoditas tersebut ditetapkan 0%, maka Indonesia dikhawatirkan semakin bergantung pada impor gandum, yang akan berdampak negatif terhadap keberlangsungan produsen pangan lokal.
Bhima juga menekankan bahwa meskipun penurunan tarif bisa dilihat sebagai bentuk kerja sama dagang, Indonesia harus mewaspadai ketergantungan terhadap satu negara mitra, khususnya Amerika Serikat.
Menurutnya, dalam kondisi geopolitik yang tidak stabil, negosiasi dagang dengan AS bisa berubah sewaktu-waktu tanpa kepastian.
“Semua bisa berubah di menit-menit terakhir. Apalagi ini akan diberlakukan masih pada Agustus 2025. Jadi masih ada beberapa kemungkinan bahwa kesepakatan ini pun juga belum kesepakatan yang final,” pungkasnya.***
Baca Juga: Stop Bicara Hilirisasi, Bivitri: Ini Warisan Gelap Jokowi yang Harus Dibongkar!
Artikel Terkait
Indonesia Tak Akan Tunduk Buta pada Tekanan Impor AS, Luhut: Kita Paham Betul
Data Finansial Indonesia Dipertaruhkan? QRIS dan GPN Jadi Taruhan dalam Negosiasi Dagang RI-AS
Amerika Serikat Juga Merasa Korban Globalisasi? Sri Mulyani Ungkap Pertemuan dengan Pihak AS
Donald Trump Tekan Indonesia, eks Diplomat Senior: Kita Ditodong Dua Kali oleh AS
Beda Nasib Vietnam dan Indonesia setelah Negosiasi dengan AS, Apa Penyebabnya?
Mewanti-Wanti Krisis Tersembunyi, Celios Hitung Bahaya Kebijakan Tarif Tinggi AS