“Jangan sampai budaya hanya jadi pelarian dari kegagalan menjaga SDA,” ujar seorang aktivis muda dalam diskusi publik di Bandung.
Baca Juga: Pak, Tahun Depan Aku Masih Bisa Ngajar, Nggak?
Ada benarnya. Mengandalkan budaya tanpa mereformasi sistem ekonomi sama saja membangun rumah di atas pasir.
Dalam sistem kapitalisme, segala hal dianggap komoditas. Alam dijual. Budaya dijual. Rakyat menjadi penonton. Paradigma ini membuat negara terjebak dalam kebijakan tambal sulam. Ketika SDA dikeruk habis, mereka beralih menjual tari-tarian dan kain tradisional.
Raka mulai memahami. “Bah, jadi yang salah bukan budayanya?”
“Betul, Nak. Yang salah itu sistem yang menjadikan semua hal sebagai barang dagangan. Budaya seharusnya dipelihara, bukan dijual semata.”
Ketika Budaya Dihormati, SDA Dijaga
Islam punya cara pandang yang berbeda. Rasulullah saw. bersabda, “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api (energi).” (HR. Abu Dawud).
Kekayaan alam adalah milik rakyat. Negara hanya mengelola, bukan menjual. Hasilnya kembali ke masyarakat. Maka, sektor budaya pun bisa berkembang tanpa harus bersandar pada investor asing. Di masa Umar bin Khattab, negara mengelola tambang dan kekayaan alam lewat baitul mal. Lalu membiayai pendidikan, dakwah, dan pengembangan peradaban, termasuk budaya.
Islam tidak menjadikan budaya sekadar tontonan. Tapi menjadikannya bagian dari identitas dan syiar yang membentuk masyarakat yang beradab dan bermartabat.
Raka memandang ke kejauhan. Angin dari gunung membawa suara angklung dan aroma tanah basah.
“Bah, aku ingin jadi bagian dari kebangkitan ini,” ujarnya mantap.
“Kalau begitu, bangun bukan hanya kampungmu. Bangun sistemnya juga, Nak,” jawab Abah dengan mata berkaca.***
Artikel Terkait
Di Balik Pintu Besi Kosambi: Sebuah Pelajaran tentang Kepekaan dan Tanggung Jawab
Cara Mendengar Suara Tuhan, Secara Mudah
Sebuah Suara dari Desa untuk Negeri
Sungai Itu Masih Ingat Namamu
Pak, Tahun Depan Aku Masih Bisa Ngajar, Nggak?
Butiran Air Mata di Karung Beras