BISNISBANDUNG.COM - Dalam peta budaya kita, feminisme dan budaya patriarki berdiri sebagai dua kutub yang saling menentang.
Budaya patriarki memegang erat gagasan bahwa laki-laki harus mendominasi dunia, menjadi pemimpin dan penguasa yang dianggap lebih agung dan dominan daripada gender lainnya.
Di sisi lain, feminisme memperjuangkan kesetaraan gender, membangkitkan kepercayaan diri perempuan, dan mengeksplorasi potensi mereka untuk meraih posisi setara dengan laki-laki di semua bidang kehidupan.
Baca Juga: Manfaat Puasa Dan Niat Bacaan Sahur dan Berbuka Selama Ramadhan, Bisa Dibaca Disini!
Feminisme bukanlah gerakan untuk meruntuhkan agama atau mengurangi populasi manusia.
Sebaliknya, tujuannya adalah memberdayakan perempuan agar mereka memiliki akses yang sama dengan laki-laki di bidang pendidikan, ekonomi, karier, sosial, dan politik.
Namun, dalam masyarakat yang masih terpaku pada pandangan patriarkis, feminisme sering difitnah sebagai ancaman, dianggap memalingkan perempuan dari kodratnya, bahkan dianggap merusak hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Stigma negatif terhadap feminisme sering kali berasal dari mereka yang masih terkungkung dalam pandangan patriarkis, seperti laki-laki yang belum dewasa, individu dengan pendidikan rendah, atau fanatik agama tertentu.
Baca Juga: Sejarah Dibalik Bendera Merah Putih, Warisan dari Rasulullah melalui Mimpi
Mereka melontarkan tuduhan-tuduhan bahwa feminisme dapat membuat perempuan lupa pada perannya, bahkan bisa mengancam institusi keluarga tradisional.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa budaya patriarki bukanlah sesuatu yang alami atau tidak bisa berubah.
Dahulu, peradaban pertama di Mesopotamia atau Mesir kuno tidak mengenal sistem patriarki seperti yang kita kenal sekarang.
Bahkan, di beberapa daerah Nusantara, budaya matriarki atau garis ibu pernah diperkuat, menegaskan kesetaraan gender.
Baca Juga: Pasangan Hybrid Couple, Wanita Asal Spanyol Akan Jadi Wanita Pertama yang Nikahi AI Hologram