bisnisbandung.com - Kebijakan larangan kegiatan study tour dan wisuda yang diusulkan Dedi Mulyadi menuai dukungan dari berbagai pihak, termasuk dari politisi Partai Gerindra, Hendarsam Marantoko.
Ia menilai kebijakan tersebut tidak hanya menyentuh aspek administratif pendidikan, tetapi juga menunjukkan kepekaan terhadap beban psikologis dan ekonomi yang dialami oleh siswa dari kalangan keluarga tidak mampu.
“Itulah bentuk daripada seorang pejabat publik, menangkap aspirasi dan nurani publik. Kadang-kadang nurani itu tidak teraspirasikan, tapi beliau bisa menangkap itu,” lugasnya, dilansir Bisnis Bandung dari youtube Nusantara TV, Jumat (2/5).
Baca Juga: Disiplin Ala Militer! Dedi Mulyadi Godok 40 Pelajar di Barak Armed Purwakarta
Hendarsam menyampaikan bahwa dirinya secara pribadi pernah mengalami ketidakmampuan mengikuti study tour saat duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Ia merasakan langsung bagaimana ketidakikutsertaan dalam kegiatan tersebut menciptakan disparitas sosial antara siswa yang mampu dan tidak mampu, yang berdampak secara emosional hingga dewasa.
Menurutnya, pengalaman seperti itu tidak bisa dianggap remeh, karena bisa meninggalkan kesan sosial yang dalam.
Baca Juga: Mengejutkan! 196 Mobil Dinas Tak Terdeteksi, Pemkab Indramayu Rugi Belasan Miliar
Lebih lanjut, Hendarsam menyoroti bahwa kegiatan seperti study tour kerap tidak dibiayai oleh sekolah, sehingga sepenuhnya dibebankan kepada orang tua siswa.
Hal serupa terjadi pada kegiatan wisuda yang kini dilakukan mulai dari jenjang taman kanak-kanak hingga SMA, padahal dalam sistem pendidikan nasional, wisuda secara formal hanya diatur untuk perguruan tinggi.
Ia menekankan bahwa untuk keluarga dengan lebih dari satu anak, biaya rutin seperti itu bisa menjadi beban ekonomi yang besar.
Baca Juga: Pasar Caringin Bau Sampah Menyengat, Dedi Mulyadi: Bisa Hidup di Tempat Kayak Gini?
Hendarsam menilai langkah Dedi Mulyadi sebagai bentuk respons seorang pemimpin terhadap realitas masyarakat, terutama warga di pedesaan yang banyak berasal dari kalangan ekonomi lemah.
Menurutnya, kebijakan tersebut mencerminkan kemampuan menangkap aspirasi dan nurani publik, meskipun tidak selalu terucap secara eksplisit oleh masyarakat.