TANGGAL 9 Februari kemarin, sebagian insan pers nasional berkumpul di Kendari Sulawesi Tenggara. Bersama Presiden RI, Joko Widodo, mereka memperingati Hari Pers Nasional 2022. Insan pers berharap, HPN Kendari itu merupakan momentum kebangkitan kembali pers nasional. Sejak pencanangan Reformasi hingga saat ini, pers Indonesia mengalami turbulensi bahkan matisuri. Perkembangan pers di seluruh dunia, nyaris sampai pada titik nadir.
Pers, khususnya pers main stream, terutama pers cetak, terbenam dalam timbunan pers gelombang baru. Lalu adakah relevansi pertingatan HPN Kendari dengan kehidupan pers seperti ini? Dengan kalimat lain, masih petlukah HPN pada abad digital ini? Tentu saja orang pers tidak ingin HPN itu hanya memnjadi peringatan nostalgik saja. Kita ingin dari Kendari itu tercipta langkah-langkah konkret penataan kehidupan pers nasional.
Kehidupan pers sebagaimana terjadi bada abad ini, tampaknya seperti suatu keniscayaan. Kita tidak dapat mempertahankan keutuhan pers seperti abad-abad sebelumnya. Hal itu merupakan konsekuensi logis perjalanan waktu. Kita semua—di seluruh dunia—sampai pada era digital. Kapan pun, teknologi lahir kembar, manfaat dan madorot. Manfaat teknologi komunikasi yang makin canggih, pada sisi lain selalu membawa madorot bahkan petaka.
Betapa, manusia milenial menjadi generasi supercerdas karena mereka menguasai teknologi supercanggih. Segala macam urusan dari ilmu pengetahuan, teknologi,ekonomi, dan komunikasi,menjadi sangat mudah. Manusia termanjakan sejak lahir hingga dewasa. Orang butuh makanan, tidak usah memasak atau pergi ke warung. Tinggal klik pesan anake macam makanan, dalam waktu singkat sudfah diantar ke alamat pemesan. Butuh berfita, deri berita pe,erkosaan hingga politik praktis dan nonpraktis timnggal klik, berbagai penyedia konten siap menyampaikan bertita paling aktual.
Sisi madorotnya juga sangat banyak, sebanyak manfaatnya. Orang semakin malas. Kaki untuk melangkah, makin kurang digunakan. Semua keperluan tiudak harus memnggunakan kaki untuk melangkah. Berkendara mobil, tidak lagi memerlukan kaki kiri karena segalanya serba matik. Kaki yang tidak berfungsi akan mengalami degradasi menuju kelumpuhan. Dampak paling spektakuler, terpuruknya pers main stream. Jangan dikira, lembaga penyiaran, televisi dan radio tidak ikut jadi korban. Banyak sekali lembaga penyiaran yang gulung tikar, terutama TV lokal. Banyak radio dan televisi yang tidak mendapat porsi kue iklan. Pengiklan sekarang lebih banyak memasang iklan pada media online atau mwdia sosial. Praktis dan sangat murah.
Wajar apabila pers nondigital nyaris punah. Bicara pers saat ini tidak lagi bicara tentang idealisme.Kalaupun masih ada, hanya idealisme berlatar kepentingan politik. Bermunculanlah media sosial dengan berbagai kepentingan politik. Dulu orang menerbitkan suratkabar benar-benar didorong idealisme bagi kepentingan bangsa dana negara. Orang bekerja di medsia massa baik sebagai wartawan maupun tata usaha, tidak memikirkan upah.
Kode Etik Jurnalistik mertekomendasikan terciptanya keseimbamngan idealisme dan kemersialisme. Pada musim persaingan media massa, sebelum Refgormasi, komersialisme makin mendesak idealisme. Persaingan antarmedia massa tidak berbeda dengan persaingan dalam dunia usaha. Sekarang pada era digitaliisasi, media massa justru merupakan industri yang mementingkan provit. Media massa sudah berada dalam pergulatan kepentingan bisnis dan kepentingan politik.
Selamat Hari Pers Nasional 2022. Semoga HPN Kendari menghasilkan gagasan-gagasan baru dalam membangkitkan kembali pers nasional yang berbudaya kaya idealisme, dan beretika. ***
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Editor: Administrator