PERTUMBUHAN ekonomi di Pulau Jawa masih menjadi cermin kondisi perekonomian nasional. Pada penghujung (triwulan IV) 2020, semua provinsi di P.Jawa mengalami kontraksi sangat dalam. DKI Jakarta mengalami kontraksi minus 2.14%, Jabar -2,39%, Jateng -3,34%, dan Jatim 2,64%. Kontraksi itu berpengaruh sekali gus dipengaruhi kondisi pertumbuhan ekonomi nasional dan global. Perekonomian Indonesia mengalami kontraksi sampai minus 2,19%.
Pada triwulan I tahun 2021 kontraksi perekonomian nasional lebih dangkal, dari - 2,19 menjadi 0,75%. Perbaikan ekonomi nasional itu berpengaruh positif bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Hal itu terbukti semua provinsi di Pulau Jawa mengalami pertumbuhan ekonomi yang cenderung makin dangkal. Pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta naik dari -2,14% kuartal IV 2020, menjadi minus 1,65% pada triwulan I 2021 (year to year). Provinsi Jawa Barat dari minus 2,39% akhir tahun 2020 menjadi 0.83% pada awal tahun 2021.
Angka kontraksi perekonomian Jawa Temgah dan Jawa Timur makin kecil. Jateng dari -3,34% menjadi 0,87%%. Jatim dari -2,64% menjadi 0,44% (y to y). Pertumbuhan yang fantastis justru terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Disebut fantastis karena pertumbuhan ekonomi di DIY melonjak sangat tinggi. Dari minus 0,68% pada triwulan IV, tiba-tiba menjaul menjadi plus 6,14%.
Kenaikan angka pertumbuhan ekonomi DIY yang fantastis itu terjadi masih pada masa pandemi. Di daerah lain pandemi berdampak sangat berat bagi mobilitas penduduk dan perekonomian. Namun DIY sebagai daerah tujuan wisata masih mendapat kunjungan kaum wisatawan, terutama wisatawan domestil. Meski dalam jumlah terbatas, kuliner dan produk UKM Yogya tetap menjadi buruan para pelancong. Kuliner tradisional Yogya seperti gudeg, jamur, mie tek-tek tetap diburu orang padahal dengan protokol kesehatan cukup ketat.
Benar terjadi penurunan cukup besar terjadi pada produk UKM seperti oleh-oleh (pia dan sejenismya), batik, kerajinan perak, dan lain-lain. Cukup banyak pusat-pusat oleh-oleh Yogya yang tutup bahkan bangkrut. Lahan parkir bus di belakang pusat oleh-oleh, nyaris tanpa bus yang parkir. PKL Malioboro yang selalu ramai, beberaoa hari pernah ditutup. Namun secara umum, pasar pariwisata Yogya masih mampu menembus barikade pandemi.
Berbeda dengan perguruan tinggi negeri yang lain, Ubniversitas Gajah Mada (UGM) melakukan tes masuk langsung. Para pendaftar, melalui pengaturan waktru dan tempat, dari berbagai provinsi seluruh Indonesia, datang ke Yogya. Meskipun dengan penjagaan dan pemberlakuan prokes sangat ketat, mereka masuk Yogya. Hampir semua peserta tes tidak melewatkan kesempatan berada di Yogya yanpa mencicipi gudeg, sate, mie, dan sebagainya. Memang hampir semua resror wisata ditutup akan tetapi, sekadar berjalan-jalan sepanjang Maliobotro masih mereka lakukan.
Pemerintah DIY tegas menolak pembangunan jalan tol yang melintasi Yogya. Jalan Tol Trans Jawa sekesai, Yogya tidak memiliki jalan masuk dan keluar (interchance). Para pengguna jalan tol yang akan masuk atau meninggalkan Yogya harus melalui pintu tol arah timur di Solo atau melalui jalan pintas Klaten-Boyolali. Ke arah barat-utara pintu tol berada di Magelang. Para pengguna Trans Jawa mau tidak mau harus melewati sebagian besar daerah Yogya. Mereka dipaksa melihat pertokoan, restoran, hotel di sepanjang jalan. Hal itu merupakan teknik komunikasi atau promosi yang berhasil. Pada suatu saat orang-otang yang hanya lewat itu akan sengaja datang ke Yogya sebagai wisatawan.
DIY unggul dalam ”kompetisi” keluar dari kontraksi ekonomi. Tentu saja kita tidak dapat membandingkan kondisi ekonomi DIY dengan daerah lain. DKI Jakarta, meskipun secara luas area, DKI Jakarta dan DIY hampir sama. Namun persoalan ekonomi sosialnya jauh berbeda. Begitu pula Jawa Barat dan daerah lain, masing-masing memiliki masalah yang berbeda. Tentu saja, dengan kerendahan hati, kita semua harus memberi ucapan selamat kepada DI Yogyakarta. Mudah-mudahan provinsi lain akan segera menyamai bahkan melampauinya. ***