Oleh: Ummu Fahhala
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
Desa yang dulu tenang kini berubah. Musik asing terdengar dari kafe malam. Ritual-ritual kuno kembali dipertontonkan demi menarik wisatawan. Anak muda mulai meniru gaya hidup para pelancong.
Seorang ibu mengeluh kepada saya,
“Dulu anak saya tidak berani keluar malam. Sekarang dia ikut teman-temannya bekerja sampai larut karena ada acara musik di vila wisatawan.”
Saya tahu ada yang lebih dalam dari sekadar perubahan ekonomi. Ada perubahan cara hidup. Ada perubahan cara berpikir. Ada perubahan nilai.
Islam mengingatkan kita, “Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang menyesatkan, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.”
(QS. Al-An'am: 153)
Benar. Sistem sekularisme kapitalisme membuka pintu selebar-lebarnya bagi masuknya budaya yang tidak terjaga. Masyarakat pun mulai menilai hidup berdasarkan “untung dan rugi”, bukan “halal dan haram”.
Baca Juga: Kisah Desa Wisata yang Mencari Jalan Pulang
Jalan Kembali itu Bernama Islam
Suatu malam, saya berbicara dengan seorang guru ngaji desa. Ia menatap bukit yang remang dan berkata,
“Anak muda kita butuh arah. Desa butuh arah. Dan arah itu ada di Islam.”
Saya mengangguk. Islam memang mengatur kehidupan dengan utuh. Ekonomi, sosial, pendidikan, semuanya terikat oleh satu kalimat, yakni taat kepada Allah Swt.
Islam tidak menjadikan wisata sebagai mesin ekonomi utama. Islam menempatkan wisata pada tempatnya, berupa rekreasi dan dakwah.
Rasulullah saw. bersabda, “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud, no. 3477)
Hadis ini menegaskan bahwa sumber daya alam milik umum, bukan milik korporasi. Negara wajib mengelola dan mendistribusikan hasilnya kepada rakyat.