Raka menatapnya penasaran. “Contohnya?”
“Pertama,” jelas Ardi, “Islam membangun kendali diri. Allah sudah memperingatkan kita dengan sangat tegas: ‘Sesungguhnya khamar, judi, berhala, dan mengundi nasib adalah perbuatan setan. Maka jauhilah agar kamu beruntung.’ (QS Al-Maidah: 90). Ayat ini bukan cuma larangan, tapi perlindungan.”
Raka terdiam.
Ardi melanjutkan,
“Kedua, Rasulullah saw. juga bersabda, ‘Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.’ (HR. Ibn Majah). Judi online itu merusak: diri rusak, keluarga rusak, masyarakat rusak.”
Raka menelan ludah. “Tapi hidup sekarang beda, Di. Semua serbadigital. Semua gampang diakses.”
“Justru itu,” jawab Ardi cepat. “Dalam sejarah Islam, negara menutup semua celah yang bisa menjerumuskan rakyat. Pasar diawasi, praktik judi dimusnahkan, dan ekonomi dibangun agar rakyat nggak tergoda cari jalan pintas. Itu bukan represif, tapi protektif.”
Ia menatap Raka lebih dalam.
“Kalau struktur sosial dibiarkan longgar, kalau budaya hanya mengejar kesenangan, kalau ruang digital tidak dikawal, maka orang yang paling rapuh akan jadi korban pertama.”
Raka menghela napas panjang. “Jadi solusinya bukan cuma blokir ya?”
“Bukan,” tegas Ardi. “Solusinya adalah menguatkan nilai di dalam diri, memperbaiki lingkungan sosial, dan memastikan negara menutup pintu maksiat sejak akarnya. Islam menawarkan itu secara berimbang: membangun pribadi yang kuat dan masyarakat yang sehat.”
Raka menatap ponselnya yang masih menyala. “Kadang aku merasa kebebasan ini… kosong.”
Ardi menepuk pundaknya.
“Kebebasan tanpa nilai memang berubah jadi jebakan, Rak. Islam bukan anti kebebasan. Islam memberi arah agar kebebasan membawa kamu pulang, bukan tersesat.”
Sore itu mereka terdiam. Di balik layar sunyi ponsel, generasi hari ini memang tidak hanya membutuhkan teknologi yang aman, tetapi juga nilai yang menuntun. Dan ketika dunia bergerak tanpa pagar, ajaran Islam menawarkan kompas moral yang bukan hanya membebaskan, tetapi juga menyelamatkan.***