Oleh: Ummu Fahhala, S. Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
Bisnisbandung.com - Di era digital yang serbacepat, masyarakat kita berhadapan dengan realitas yang ironis. Kebebasan yang awalnya dipuji sebagai simbol kemajuan justru berubah menjadi jerat yang sulit dilepaskan. Judi online adalah contoh paling nyata bagaimana ruang tanpa batas dapat menciptakan generasi yang rapuh kendali. Arus liberalisasi gaya hidup mendorong banyak anak muda untuk mencoba apa saja, tanpa pagar nilai yang jelas.
Sore itu, di sudut kantin kampus, Raka menunduk lesu sambil menggenggam ponselnya.
“Aku cuma iseng, awalnya,” keluhnya kepada Ardi, sahabatnya. “Sekarang aku malah kecanduan. Semua orang bebas, tapi kenapa aku makin terikat?”
Baca Juga: Boy Thohir Tambah Kepemilikan Saham TRIM, Tanda Percaya pada Prospek Pasar Modal RI
Ardi, aktivis Rohis yang terkenal tenang dan bijak, menarik kursi dan duduk di depannya. “Rak, kamu nggak sendirian. Banyak yang terjebak hal yang sama,” ujarnya pelan. “Kita hidup di budaya yang membiarkan apa saja dianggap wajar. Itu masalahnya.”
Fenomena yang dialami Raka bukan kasus tunggal. Berbagai survei nasional menunjukkan peningkatan signifikan pada penyalahgunaan gim dan aplikasi digital yang menyelipkan unsur taruhan, baik togel digital, slot, maupun ‘mini game’ dalam aplikasi hiburan. Liberalisasi gaya hidup yang merayakan kebebasan tanpa batas, ditambah penetrasi internet yang sangat cepat, membuat kontrol diri generasi muda sering kali tertinggal.
Secara akademik, fenomena ini dapat dibaca melalui dua kerangka besar: psikologi perilaku dan sosiologi digital.
Pertama, industri judi online memanfaatkan mekanisme reward system otak: kemenangan kecil sesekali memicu dopamin, menciptakan illusory hope (harapan palsu) bahwa keberuntungan akan terulang.
Kedua, dalam perspektif sosiologi digital, platform digital kini menjadi “ruang budaya” yang secara halus membentuk nilai, gaya hidup, dan cara pandang. Ketika ruang digital dibangun atas logika liberal, kebebasan individu sebagai pusat segalanya, maka batas moral cenderung kabur dan individu kerap dibiarkan “bertarung sendiri”. Semua ini membuat remaja dan mahasiswa menjadi kelompok paling rentan.
Baca Juga: Polemik Usai Putusan MK, Penasihat Ahli Kapolri Beberkan Pilihan bagi Polisi di Jabatan Sipil
Raka mengangguk lemah. “Tapi pemerintah kan sudah blokir banyak situs?”
“Betul,” jawab Ardi. “Tapi selama budaya permisif tetap hidup dan orang merasa bebas melakukan apa pun, blokir itu cuma tameng tipis.”
Ia kemudian melanjutkan, suaranya semakin mantap.
“Islam sebenarnya sudah memberi kerangka solusi yang lengkap: memperbaiki individu dan menjaga sistem sosialnya. Dua-duanya harus jalan.”
Artikel Terkait
Mimpi di Balik Gerobak
Bandung di Persimpangan
Jabat Tangan di Bawah Langit Islam
Percakapan tentang Setetes Kehidupan
Di Antara Idealisme dan Royalti
Jabar Tetapkan Siaga Darurat, Mitigasi Masih Sekadar Formalitas