Rafi menunduk. Hatinya makin gelisah. Ia tahu sahabatnya benar.
Baca Juga: Generasi Patah Sayap, Mimpi yang Terkubur
Cermin Kapitalisme
Mereka terdiam sejenak, menatap lalu lintas yang padat di Jalan Asia-Afrika.
“Fi, kau tahu? Dalam sistem kapitalisme, kota tanpa sumber daya besar seperti Bandung hanya bisa berharap dari pariwisata. Tapi, pariwisata itu bukan tanpa harga. Miras, prostitusi, narkoba, judi, semua selalu melingkari kawasan wisata. Rasulullah sudah bersabda, ‘Khamar adalah induk segala kejahatan’ (HR Ath-Thabrani). Tapi demi investor, semuanya dilegalkan. Rakyat? Mereka hanya jadi penonton, atau buruh dengan upah murah,” kata Adit lirih.
Rafi terdiam. Ia merasakan getirnya kebenaran itu. Ibunya bekerja keras, sementara hotel-hotel megah berdiri angkuh.
Harapan dari Islam
“Jadi, apa kita hanya bisa pasrah, Dit? Apakah Bandung tidak punya jalan lain selain pariwisata?” tanya Rafi akhirnya.
Adit tersenyum. “Islam punya jalan, Fi. Dalam Islam, pendapatan negara tidak bergantung pada pariwisata. Ada fai’, ghanimah, kharaj, jizyah, juga kepemilikan umum seperti tambang dan hutan. Itu semua untuk kesejahteraan rakyat. Pariwisata dalam Islam tetap ada, tapi bukan untuk syirik atau hedonisme. Pariwisata dalam Islam jadi sarana tafakur dan dakwah.”
“Dakwah?” Rafi mengernyit.
“Iya, Fi. Ingat firman Allah: ‘Berjalanlah kamu di muka bumi, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu’ (QS Al-An’am: 11). Itulah pariwisata dalam Islam. Melihat alam, merenungi sejarah, memperkuat iman. Rasulullah saw. tidak membangun gedung konser, tapi membangun peradaban. Kota Madinah bersih, adil, dan bermartabat. Itu warisan sesungguhnya.”
Gerimis pun reda. Malam Bandung semakin hidup dengan suara kendaraan dan musik dari kafe.
Rafi menatap langit. “Bandung 215 tahun. Tapi apakah kita masih tahu arah? Apakah kita ingin Bandung hanya jadi kota pesta, atau kota iman?”.***