Oleh: Ummu Fahhala, S. Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
Langit Bandung sore itu masih menyisakan gerimis. Jalanan yang basah berkilau oleh lampu kota. Dari Gedung DPRD, suara tegas Gubernur Jawa Barat menggema usai Rapat Paripurna Hari Jadi Kota Bandung ke-215.
“Drainase harus dibersihkan, jalan harus mulus, lampu jalan harus terang. Pasar kumuh harus ditata. Bandung juga harus jadi pusat pertunjukan, pusat kuliner, pusat seni, dan pariwisata berbasis heritage,” ucapnya mantap.
Tepuk tangan hadirin terdengar, tanda persetujuan. Di sisi lain, seorang anak muda duduk termenung di kursi taman tak jauh dari sana. Namanya Rafi, mahasiswa tingkat akhir yang tumbuh besar di jantung Kota Bandung. Ia menatap gedung tinggi dan kerlap-kerlip lampu kota. Hatinya bangga, tapi juga bimbang.
Baca Juga: Mimpi di Balik Gerobak
Percakapan di Taman Kota
“Fi, kamu dengar tadi arahan gubernur?” tanya sahabatnya, Adit, yang duduk di sampingnya.
Rafi mengangguk pelan. “Dengar. Bagus, kan? Bandung mau jadi kota event, pusat wisata, pusat seni.”
Adit menoleh, matanya tajam. “Iya, bagus. Tapi aku masih bertanya, Fi. Semua ini untuk siapa? Untuk rakyat kecil atau hanya untuk para investor besar?”
Rafi terdiam. Pertanyaan itu menghantam pikirannya. Ia tahu, ibunya yang pedagang kecil di pasar sering mengeluh soal biaya sewa kios yang naik. Ia juga ingat tetangganya yang lahannya digusur untuk pembangunan.
Gemerlap dan Bayangan
“Kalau Bandung jadi pusat pertunjukan, mungkin kita bangga. Konser-konser internasional bisa digelar di sini. Tapi… apa kita sadar gemerlap itu sering mengundang hedonisme? Diskotek, minuman keras, pesta malam. Apa itu yang kita wariskan?” ucap Adit lagi.
Rafi menghela napas. “Tapi orang bilang itu budaya. Itu seni. Itu bagian dari pariwisata.”
Adit menepuk bahunya. “Fi, ingat. Tidak semua yang disebut budaya itu membawa kebaikan. Kadang yang dijual atas nama seni adalah sinkretisme. Campur aduk akidah. Seperti seni Burcek, kolaborasi Islam dan Hindu. Atau tradisi buang nahas yang dibangkitkan untuk wisata. Padahal itu syirik. Tapi semua dianggap wajar demi toleransi dan pariwisata.”