Oleh: Ummu Fahhala, S. Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
Bisnisbandung.com - Malam itu, Darto duduk di samping gerobak baksonya. Uap panas mengepul, bercampur dengan angin dingin yang menusuk kulit. Senyumnya tipis, meski tubuhnya letih. Di depannya, anaknya yang masih duduk di bangku SMP membantu menghitung kembalian.
“Yah, besok sekolah ada iuran lagi,” lirih anaknya.
Darto terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Insyaallah, Nak. Rezeki Allah luas. Jangan khawatir.”
Namun, di balik kata-kata itu, dadanya sesak. Sejak pagi ia mendengar kabar dari radio bahwa pemerintah Jawa Barat meluncurkan program untuk menguatkan UMKM agar tak lagi hanya di ujung produksi. Hatinya berdesir. Apa mungkin gerobak kecil ini bisa jadi bagian rantai pasok besar?
Baca Juga: Generasi Patah Sayap, Mimpi yang Terkubur
Tak lama, datanglah seorang sahabat lama, Hasan, seorang aktivis ekonomi Islam yang gemar turun ke lapangan.
“Dar, kau dengar soal program akselerasi UMKM itu?” tanya Hasan.
“Iya, San. Katanya UMKM bisa naik kelas. Tapi jujur, aku takut. Bukankah rantai pasok itu biasanya dikuasai pemodal besar?”
Hasan menghela napas. “Betul. Dalam sistem kapitalisme, UMKM sering jadi sekadar alat. Mereka hanya penyambung, sementara keuntungan besar tetap lari ke tangan cukong. Padahal Rasulullah saw. bersabda: ‘Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.’ (HR. Abu Dawud). Itu artinya, sektor strategis harus dijaga negara, bukan dilepas ke kapitalis.”
Darto menatap gerobaknya. Matanya berkaca-kaca. “Jadi… kami hanya pion? Kami hanya terlihat ramai, padahal sesungguhnya hanya menghidupkan kantong orang lain?”
Baca Juga: Saat Gizi yang Dijanjikan Membawa Nestapa
Hasan menepuk bahunya. “Jangan putus asa. Islam punya jalan lain. Zakat, distribusi kekayaan, pengelolaan SDA oleh negara, semua itu membuat rakyat bisa berdiri tegak tanpa bergantung pada kapitalis. Umar bin Khattab pernah memastikan setiap rakyatnya cukup makan, bahkan rela keliling malam mencari siapa yang lapar. Itulah sistem yang adil, bukan sekadar jargon.”
Di kejauhan, azan Isya berkumandang. Darto menutup gerobaknya perlahan. Dalam hati ia berdoa, “Ya Allah, jadikan usahaku bukan hanya untuk perut keluargaku, tapi juga bagian dari perjuangan menegakkan keadilan-Mu di bumi.”