Oleh: Ummu Fahhala, S. Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
“Bu… berasnya bau… kok nggak kayak biasanya, ya?”
Bisnisbandung.com - Kalimat itu keluar dari mulut kecil Alif, anak laki-laki kelas dua SD. Ia berdiri mematung di depan dapur, melihat sepiring nasi yang baru saja dimasak oleh ibunya. Aroma yang keluar memang berbeda, sedikit apek dan tak sedap.
Bu Wati, ibunya, menahan napas. Dengan cepat ia meraih karung beras 5 kilogram yang baru saja dibelinya dua hari lalu dari kios langganan. Di karung itu tertulis: "Premium Quality Rice - Wangi Pulen Asli" dengan label warna emas yang mencolok.
Namun saat dicium, karung itu tak memancarkan aroma beras yang biasa ia kenal. Tangannya gemetar. Ia tahu, ini bukan beras premium. Ia tertipu. Lagi.
Baca Juga: Pak, Tahun Depan Aku Masih Bisa Ngajar, Nggak?
Bu Wati bukan satu-satunya korban. Jutaan ibu rumah tangga di seluruh Indonesia mengalami hal serupa. Mereka membeli beras premium dengan harga mahal, tapi yang mereka dapatkan hanyalah butiran beras biasa, bahkan sering kali kualitasnya buruk.
Menurut laporan salah satu media mainstream pada 13 Juli 2025, praktik oplosan beras premium semakin masif. Sebanyak 157 merek beras ditemukan tidak sesuai standar, seperti yang dilansir beberapa media online, 10 Juli 2025. Tak tanggung-tanggung, konsumen disebut mengalami kerugian hingga hampir Rp100 triliun karena membeli beras berkualitas rendah dengan harga tinggi.
Yang lebih mengejutkan, pelakunya bukan pedagang kecil. Justru perusahaan besar yang mestinya jadi garda terdepan kualitas pangan yang melakukan praktik curang ini.
Sore itu, Bu Wati duduk di teras rumah bersama tetangganya, Pak Tono, seorang pensiunan guru. Mereka berbicara sambil memandangi langit yang mulai gelap.
“Pak, ini bukan sekali dua kali. Setiap beli beras premium, selalu ada rasa curiga. Padahal harganya naik terus,” kata Bu Wati.
“Iya, Bu… negara katanya punya regulasi. Tapi kenapa yang begini terus berulang?” jawab Pak Tono dengan napas berat.
Di tengah kegundahan itu, muncul pertanyaan tajam: Mengapa regulasi tak mampu membendung kecurangan ini? Negara sudah memiliki aturan. Pemerintah pun sudah memberikan ultimatum kepada pengusaha nakal. Tapi kenyataannya, rakyat masih harus menyuapi anak-anak mereka dengan nasi dari beras oplosan.
Baca Juga: Sungai Itu Masih Ingat Namamu
Kecurangan seperti ini bukan sekadar soal hukum. Ini soal moral dan sistem. Dalam sistem yang mengutamakan keuntungan, kejujuran sering kali jadi korban. Para pelaku tidak merasa bersalah karena sistem mengizinkan mereka mengejar laba sebesar-besarnya.