Oleh: Ummu Fahhala, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
Bisnsibandung.com - Hujan turun deras sore itu. Di bawah payung plastik yang telah sobek di ujungnya, Pak Anwar memandangi aliran sungai kecil di belakang rumahnya. Sungai itu dulu bening, mengalir pelan di sela batu-batu. Anak-anak sering bermain di sana. Ikan-ikan kecil menari di antara lumut dan rerumputan. Tapi hari ini, warna airnya kecokelatan. Bau lumpur bercampur limbah menusuk hidung.
"Pak, Bima nanya," suara istrinya, Bu Nani, memecah lamunannya. "Katanya, kenapa sungainya marah?"
Pak Anwar tersenyum kecil, getir. "Karena kita terlalu banyak ambil tanpa pernah memberi, Bu..."
Baca Juga: Sebuah Suara dari Desa untuk Negeri
Dialog dari Balik Meja Pemerintah
Sementara itu, di ruang rapat Pemprov Jawa Barat, Sekda Herman Suryatman memaparkan rencana baru. Suaranya tegas, namun nadanya mengandung keprihatinan.
"Kita tidak bisa terus-menerus mengejar pertumbuhan tanpa memperhitungkan napas bumi ini," katanya. "Tata ruang yang kita susun ke depan harus berimbang. Investasi itu penting, tapi alam juga berhak hidup."
Seorang staf muda, Dita, mengangkat tangan. "Pak, bagaimana jika ada tekanan dari investor besar? Mereka sering tidak sabar dengan proses perizinan yang memperhatikan lingkungan."
Sekda Herman tersenyum, lalu menoleh ke layar presentasinya. "Justru di situlah letak keberanian kita. Kita bukan menolak investasi. Kita hanya ingin memastikan, mereka tidak menanam uang di atas reruntuhan alam."
Baca Juga: Cara Mendengar Suara Tuhan, Secara Mudah
Kisah dari Pinggir Kota
Di Majalengka, seorang petani muda bernama Raka berdiri di ladang sawahnya yang mulai retak karena air irigasi tersendat. Ia membaca berita dari ponsel tuanya, tentang rencana pemerintah menata ulang tata ruang wilayah. Matanya berkaca-kaca, bukan karena sinyal buruk, tetapi karena harapan yang mulai tumbuh kembali.
"Kalau benar pemerintah akan lebih bijak soal ruang, mungkin anakku nanti masih bisa bertani di sini," gumamnya.