bisnisbandung.com - Polemik keinginan eks Marinir TNI AL, Satria Arta Kumbara, untuk kembali menjadi Warga Negara Indonesia setelah bergabung sebagai tentara bayaran dalam konflik bersenjata di Rusia memunculkan perdebatan luas.
Di balik aspek hukum kewarganegaraan, pengamat militer Anton Aliabbas menilai kasus ini menyimpan potensi ancaman terhadap keamanan nasional dan harus dijadikan pelajaran penting bagi pemerintah.
Anton menegaskan bahwa perkara ini tidak bisa dilihat sebatas pada prosedur administratif terkait kehilangan atau pengembalian status kewarganegaraan.
Baca Juga: Amplop Kondangan Kena Pajak? Awalil Rizky: Pemerintah Dinilai Siksa UMKM dan Rakyat Kecil!
“Itu yang memang harus dihitung, bagaimana risikonya, bagaimana itu nanti mencari titik temu. Ini ngomong tentang HAM-nya, ada ngomong tentang keamanan nasional, ada ngomong tentang sosialnya dan lain-lain. Ini sangat kompleks,” tegasnya dilansir dari youtube Kompas TV.
“Jadi tidak bisa hanya sekadar diselesaikan, “Oh, ini otomatis hilang, bukan urusan.” Enggak bisa kayak gitu,” terusnya.
Ada dimensi lebih besar yang menyangkut keselamatan negara, seperti potensi infiltrasi intelijen, gangguan psikologis pasca-konflik (PTSD), hingga ancaman sosial apabila tidak ditangani secara menyeluruh.
Ia melihat bahwa Satria, yang merupakan mantan personel militer Indonesia dan kemudian terlibat dalam konflik bersenjata di luar negeri, berisiko membawa efek negatif jika tidak ditangani dengan hati-hati.
Baca Juga: Mahfud MD Bongkar Pola ‘Politik’ Vonis Hasto: Hukuman Ringan Demi Jaga Kekuasaan!
Apalagi dalam konteks konflik Rusia–Ukraina, keterlibatan sebagai tentara bayaran atau pejuang asing bukan sekadar aktivitas ekonomi, tapi juga berpotensi menyentuh isu sensitif tentang aliansi, kedaulatan, dan hukum internasional.
Lebih lanjut, Anton menekankan bahwa jika pemerintah membuka peluang untuk repatriasi atau pemulihan status kewarganegaraan, maka langkah tersebut harus didasari oleh penilaian risiko yang detail.
Pemerintah tidak cukup hanya mempertimbangkan hak asasi atau status hukum seseorang, melainkan juga wajib menghitung potensi ancaman yang mungkin timbul terhadap negara dan masyarakat luas.
Kasus ini juga disebut sebagai refleksi atas kelemahan regulasi saat ini, terutama pada Peraturan Pemerintah tentang kehilangan kewarganegaraan.
Menurut Anton, celah dalam aturan ini telah memungkinkan adanya ruang abu-abu yang membuat status hukum seseorang menjadi bahan perdebatan publik.
Ia menyarankan agar pemerintah segera memperbaiki celah tersebut, termasuk membuat sistem yang lebih rigid dan transparan dalam mendeklarasikan status hukum warga negara yang terlibat dalam konflik internasional.
Baca Juga: Kriminolog Tidak Habis Pikir, Fakta Krusial Baru Diungkap Setelah 2 Minggu Kematian Arya Daru
Artikel Terkait
Prabowo Bongkar "Serakahnomic", Pengamat: Praktik Keserakahan Menggerogoti Indonesia!
Indonesia “Kalah Telak” 19-0, Mardigu: Prabowo Punya Jurus Rahasia Lawan Trump!
Harga Solar Kian Naik, Mobil Anak Bangsa Percepat Pengembangan Truk Listrik di Indonesia Timur
Bersatu dan Berdaulat, Ini Makna Tema HUT ke-80 Republik Indonesia Versi Prabowo Subianto
Badan Perlindungan Data Belum Ada di Indonesia, Transfer Data ke AS Berisiko Bocor
APBN 2025 Bocor, Ekonom: Pajak Gagal Capai Target, Ekonomi Indonesia di Ambang Krisis