bisnisbandung.com - Pakar inovasi digital Dr. Indrawan Nugroho mengingatkan para investor dan pelaku industri untuk berhati-hati menghadapi euforia besar-besaran terhadap teknologi kecerdasan buatan (AI).
Ia mengutip perkataan CEO OpenAI mengenai lonjakan minat dan investasi pada sektor AI saat ini menunjukkan tanda-tanda awal terbentuknya gelembung ekonomi digital seperti yang pernah terjadi pada era dot-com bubble di akhir 1990-an.
“Tapi di tengah euforia itu, Sam Altman, CEO OpenAI, justru menginjak rem. Hati-hati, ini bisa jadi gelembung seperti di era dot-com,” terangnya dilansir dari youtube Dr Indrawan Nugroho.
Sejak kemunculan ChatGPT pada akhir 2022, dunia bisnis mengalami ledakan minat terhadap AI.
Nilai saham perusahaan teknologi meningkat pesat, startup AI kebanjiran modal, dan berbagai proyek berbasis kecerdasan buatan muncul di berbagai sektor mulai dari korporasi besar hingga UMKM di Indonesia.
Namun, di balik optimisme itu, banyak pengamat melihat fenomena ini sebagai kenaikan yang terlalu cepat dan tidak seimbang dengan hasil nyata di lapangan.
“Nah, pertanyaannya: apakah kita benar-benar sedang hidup di dalam AI bubble? Jika iya, apa tanda-tandanya dan apa yang sebaiknya kita lakukan sebelum terlambat?” imbuhnya.
Baca Juga: Rocky Gerung Beberkan Tantangan Besar Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto
Dr. Indrawan menjelaskan bahwa gelembung AI terbentuk ketika ekspektasi publik dan valuasi pasar naik jauh lebih cepat dibandingkan pencapaian teknologi itu sendiri.
Saat ini, kapitalisasi pasar saham global melonjak hingga lebih dari 20 triliun dolar AS sejak rilis ChatGPT, dengan sebagian besar pertumbuhan disumbang oleh raksasa teknologi seperti Nvidia, Microsoft, dan Amazon.
Meski demikian, laporan dari MIT menunjukkan bahwa 95% perusahaan yang telah berinvestasi di generative AI belum merasakan keuntungan nyata, meskipun total investasi mencapai puluhan miliar dolar.
Kondisi ini diperparah oleh ketimpangan struktur pasar. Tujuh perusahaan teknologi besar kini menguasai lebih dari sepertiga indeks S&P 500, jauh lebih besar dibandingkan dominasi lima perusahaan utama saat puncak dot-com bubble dahulu.
Baca Juga: Prabowo Kembalikan 3,3 Juta Hektare Lahan, Hersubeno Arief Soroti Arah Penertiban