Yusuf menilai resesi bisa saja terjadi di AS karena masalah politik dan perang dagang. Selama masih ada ketidakpastian di global, kinerja perdagangan dan investasi sulit tumbuh.
Pertumbuhan AS sebenarnya menunjukkan perbaikan pada kuartal III 2019 sebesar 2,1 persen. Ini lebih baik dari kuartal II 2019 yang hanya 2 persen, tetapi tetap melambat dibandingkan kuartal I 2019 yang mencapai 3,1 persen.
Kendati membaik, situasi politik di AS dan perang dagang AS-China diprediksi membuat ekonomi Negeri Paman Sam memerah jika tak ada kemajuan yang signifikan.
"Potensi resesi itu ada di AS," imbuhnya.
Selain AS, Yusuf menilai China juga bisa terkena resesi tahun depan jika persoalan perang dagang belum selesai sepenuhya. Masalahnya, AS merupakan salah satu mitra dagang terbesar China.
"Perjanjian perang dagang fase pertama katanya memang sudah tapi Trump ini kan labil bisa berubah-ubah. Ini bahaya. Kalau berubah lagi bisa pengaruh ke ekonomi China," jelas Yusuf.
Apalagi, ekonomi China sepanjang tahun ini terus memburuk. Pada kuartal III 2019, ekonomi China hanya tumbuh 6 persen. Pertumbuhannya melambat dibandingkan dengan kuartal I 2019 dan kuartal II 2019 yang masing-masing sebesar 6,4 persen dan 6,2 persen.
Sementara, Ekonom Indef Ahmad Heri Firdaus menyatakan potensi resesi di Indonesia tentu tak bisa dihilangkan jika AS dan China terkena 'wabah' tersebut. Maklum, AS dan China merupakan mitra dagang Indonesia.
Logikanya, kalau ekonomi AS dan China melambat, tentu ada penurunan permintaan dari dua negara itu yang akhirnya mempengaruhi nilai ekspor Indonesia. Apalagi, ekonomi domestik juga menunjukkan perlambatan sejak kuartal I hingga kuartal III 2019.
"Kalau di kuartal IV 2019 tidak membaik, maka 2020 ini berpotensi menimbulkan gejala resesi yang lebih tinggi. Perlambatan bisa semakin parah atau minus," tutur Heri.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal I 2019 sebesar 5,07 persen. Kemudian, kuartal II 2019 hanya 5,05 persen dan kuartal III 2019 cuma 5,02 persen.
"Kalau 2020 tidak ada upaya serius dari pemerintah, semua kebijakan sama saja sementara global semakin berkecamuk, bisa saja ekonomi Indonesia di bawah 5 persen," jelas Heri.
Sementara, Heri menyatakan penyerapan tenaga kerja akan terganggu jika ekonomi Indonesia hanya berada di kisaran 4 persen. Bila demikian, masyarakat sulit mencari pekerjaan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) akan meningkat.
"Ekonomi jadi kian sulit, karena mempengaruhi konsumsi. Pendapatan turun, konsumsi turun. Ada ancaman daya beli," ujarnya.
Heri bilang rancangan undang-undang (ruu) mengenai omnibus law sejatinya bisa membantu Indonesia keluar dari ancaman resesi karena akan mendorong investasi di dalam negeri. Namun, beleid itu masih harus menunggu restu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terlebih dahulu.