Meskipun demikian, terdapat sejumlah negara yang berhasil selamat dari ancaman resesi. Salah satunya, Singapura.
Negeri Singa itu mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,5 persen pada kuartal III 2019. Angkanya lebih baik ketimbang kuartal sebelumnya yang hanya 0,2 persen.
Industri manufaktur di Singapura berhasil tumbuh lebih baik dari periode-periode sebelumnya. Sebelumnya, ekonomi Singapura sempat terpukul akibat perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China.
Perang dagang antara dua negara dengan ekonomi terbesar itu membuat permintaan di global melemah. Alhasil, nilai ekspor Singapura ikut terpengaruh.
Selain Singapura, ekonomi di Inggris juga membaik. Padahal, negara itu sebelumnya sempat diprediksi masuk ke jurang resesi.
Ekonomi Inggris tumbuh 0,3 persen pada kuartal III 2019. Realisasi itu berbanding terbalik dengan periode sebelumnya yang minus 0,2 persen.
Kendati begitu, pertumbuhan ekonomi Inggris secara tahunan sebenarnya masih melambat 1 persen. Sementara, secara bulanan justru masih minus 0,1 persen.
Dilansir dari berbagai sumber, Ekonom Senior Capital Economics Ruth Gregory mengatakan pertumbuhan ekonomi Inggris tahun ini menjadi yang terlemah sejak 2010 lalu. Perlambatan ini dipicu ketidakpastian keluarnya Inggris dari persekutuan Uni Eropa (Brexit) sejak 2016 lalu.
Sentimen itu membebani bisnis, investasi, dan produktivitas Inggris yang memang sudah terdampak perlambatan ekonomi dunia. Makanya, sektor manufaktur di Inggris juga bergerak stagnan selama kuartal III 2019.
Selanjutnya, pada kuartal III 2019 Jerman mencatatkan pertumbuhan ekonomi 0,1 persen secara kuartalan. Sementara secara tahunan tumbuh 0,5 persen.
Pertumbuhan ekonomi di Jerman terutama ditopang oleh tingkat konsumsi rumah tangga dan pemerintah, ekspor, dan konstruksi. Namun, nilai investasi mesin dan peralatan justru merosot.
Potensi Resesi 2020
Meskipun ancaman resesi sudah mereda, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyatakan 'hantu' tersebut masih menghantui ekonomi global tahun depan. Kondisi tersebut dipicu ketidakpastian politik di AS yang muncul akibat wacana pemakzulan Presiden AS Donald Trump oleh Dewan Perwakilan negara tersebut.
"Ketika tren AS belum ada kepastian sampai tahun depan, tentu potensi resesi ada," ucap Yusuf.
Selain itu, perang dagang antara AS dan China yang belum selesai sepenuhnya juga masih menimbulkan ketidakpastian di global. Memang, kedua negara telah sepakat dengan perjanjian damai dagang fase pertama, tapi penandatanganan baru akan dilakukan awal Januari 2020 mendatang.