Oleh: Ummu Fahhala, S. Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
Bisnisbandung.com - Sore itu angin sejuk menyapu pelan rumah-rumah panggung. Di bawah pohon hanjuang, seorang pemuda bernama Raka duduk bersama kakeknya, Abah Rukman, seorang tokoh adat yang dihormati. Mereka berbicara di tengah senja yang redup, dengan suara seruling bambu yang mengalun pelan dari kejauhan.
“Bah, kenapa kita nggak pernah ikut-ikutan cari tambang emas seperti desa sebelah?” tanya Raka pelan.
Abah Rukman tersenyum sambil menepuk bahu cucunya. “Nak, emas bisa habis. Tapi kalau budaya hilang, manusia akan lupa siapa dirinya.”
Itu bukan percakapan biasa. Itu adalah intisari dari arah baru Jawa Barat.
Beberapa hari sebelumnya, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyampaikan pernyataan penting yang mengguncang persepsi lama. Ia menegaskan bahwa peradaban sejati tidak dibangun di atas perut bumi, melainkan di atas jati diri manusia.
“Bangsa yang besar bukan karena melimpahnya sumber daya alam, tapi karena kuatnya budaya dan estetika yang hidup di dalam masyarakatnya,” katanya tegas. (18 Juli 2025)
Baca Juga: Butiran Air Mata di Karung Beras
Pernyataan itu bukan slogan kosong. Pemprov Jabar mulai membangun arah baru, yakni menjadikan kekayaan budaya sebagai kekuatan global. Sunda Karsa Fest 2025 jadi contohnya. Ribuan orang datang. Tari-tarian khas Sunda mengalir indah, membuktikan bahwa nilai tradisi bisa menjadi kekuatan ekonomi dan diplomasi.
Raka kembali bertanya, “Bah, kalau budaya bisa dijual, apa bedanya sama tambang?”
Abah tertawa pelan. “Kalau tambang dijual, yang kaya hanya segelintir orang. Tapi kalau budaya dihidupkan, seluruh kampung bisa bangga. Kita menjual rasa, bukan kerak bumi.”
Seorang pakar ekonomi budaya, Farid Gaban, pernah berkata, “Budaya adalah harta yang tidak bisa dicuri. Ia tumbuh dari tanah, tapi hidup dalam hati manusia.”(2023)
Namun, ada satu pertanyaan yang tetap menggelisahkan: Apakah ini cukup?
Di tengah euforia budaya, sebagian orang mulai cemas. Mereka melihat tanda bahaya. Sumber daya alam dibiarkan dikuasai asing. Negara seakan pasrah, lalu beralih menjadikan budaya sebagai pengganti.
Namun, realitas tak bisa dibohongi. Budaya tidak bisa langsung menghasilkan devisa seperti batu bara atau nikel. Butuh waktu. Butuh kesabaran. Dan yang lebih penting adalah butuh dukungan ekonomi yang kuat.