SEJAK Januari hingga Februari 2022, harga minyak goreng melonjak. Masyarakat mengeluh karena tiba-tiba minyak goreng langka di pasar. Harganya terus meroket. Orang bertanya-tanya mengapa hal itu dapat terjadi di Indonesia, negara penhasil kelapa sawit terbesar di dunia. Banyak negara yang menggantungkan kebutuhan minyaknya kepada Indonesia.
Mulai tanggal 1 Februari, Menteri Perdagangan menetapkan Harga Eceran Tertinggi minyak goreng. Harga minya goreng curah Rp 11.500/liter. Minyak kemasan sederhana Rp 13.500, dan mintak kemasan premium Rp 14.000 – Rp 14.500/kemasan. Namun pada kenmyataannya, di pasar harga eceran jauh lebih tinggi. Minyak goreng dengan harga sesuai HET, dalam sekejap habis terjual. Toko swalayan dan pengecer di pasar tradisional mengalami kekurangan stok.
Pemerintah, dalam hal ini Menteri Perdagangan mengeluarkan kebijakan khusus yakni penerapan satu harga minyak goreng, Rp 14.000/liter. Ternyata kebijakan satu harga itu tidak langsung meredakan gonjang-ganjing harga minyak goreng. Titik apinya berada pada distribusi. Pasar mengalami kekosongan pasokan. Sudah dapat dipastikan kekurangan stok selalu diikuti dengan kenaikan harga. Artinya kebijakan Menteri Perdagangan bukan menentukan HET atau Satu Harga, tetapi membuka pintu bagi derasnya aliran minyak goreng ke pasar. Produksi minyak goreng segera dipacu. Operasi pasar yang terarah harus dilakukan secara lebih merata.
Kelangkaan stok minyak goreng di pasar, dapat tejadi karena produksi di tingkat industi berkurang. Selain itu distribusi akibat transportasi yang terkendala. Bisa saja kendalanya karena kebijakan PPKM akibat meningkatnya pandemi di berbagai daerah. Penyebab lainnya, akibat ulah kaum spekulan. Hampir tiap tahun, sejak dulu, menjelang Ramadan dan Idulfitri, banyak pedagang besar, menimbun barang dan akan dikeluarkan pada saat harga naik. Ternyata banyak spekulan yang ditengarai menimbun minyak goreng di gudangnya. Jelas penimbunan itu merupakan spekulsi yang merugikan rakyat bahkan termasuk kejahatan ekonomi. Kepolisian harus segera bertindak. Menyita barang yang ditimbunnya, kemudian menjualnya kepada pemasok atau langsung ke pasar.
Kementerian Perdagangan sebaiknya melakukan penataan ulang pemasaran dan distribusi minyak goreng. Kebijakan HET dan Satu Harga, tidak akan dapat segera menanggulangi gonjang-ganjingnya harga minyak goreng. Masyarakat tidak terlalu peduli terhadap kenaikan harga, bagi mereka yang penting minyak goreng tersedia di swalayan, pasar tradisional, dan warung eceran. (ustiarsa)***