opini

Perjuangan Hidup Mati dokter bedah sembuh dari COVID-19

Sabtu, 5 Desember 2020 | 12:50 WIB
dokter bedah

Saya seorang dokter bedah di sebuah Rumah Sakit di Wonogiri yang baru saja menyelesaikan masa isolasi. Berdua bersama anak bujang semata wayang, saya harus merasakan 12 hari “nikmatnya” ruang isolasi mulai tanggal 18-30 Nov 2020.

Alhamdulillah, saat ini kami berdua sudah sembuh dan dapat bernafas dengan lega. Bahkan saat ini kami sudah dapat beraktivitas seperti sedia kala.

Saya ingin berbagi cerita beratnya perjuangan antara hidup dan mati pada masa isolasi. Sebuah pengalaman yang tak akan mungkin saya lupakan seumur hidup.

Pada 18 November 2020, hasil tes swab saya dan anak saya positif. Kami segera berangkat ke ruang isolasi di RS Moewardi, Solo.

Saya dan anak saya mengalami kondisi demam dan batuk. Sepanjang perjalanan antara Wonogiri ke Solo, tubuh saya terus menggigil. Kondisi ini diperparah karena keluarga besar kami sedang mendapatkan musibah. Ayah mertua saya yang juga dokter bedah sedang berada dalam ruangan ICU RS Karyadi Semarang karena positif COVID-19. Usianya yang sudah 78 tahun, menjadikannya sangat rapuh menghadapi serangan virus ini. Sudah ada total 8 orang dari keluarga kami yang positif COVID-19.

-

Sesampainya di ruangan isolasi, kondisi saya tambah buruk dengan demam yang masih tinggi. Setiap hari saya menggigil kedinginan dan bahkan setiap 6 jam sekali harus mengkonsumsi obat pamol agar tidak menggigil akut.

Di hari keempat masa isolasi, saya mulai batuk dengan badan terasa sakit semua. Ketika menerima telepon dari keluarga atau sahabat, batuk semakin parah, Bahasa jawanya batuk ‘ngekel’. Setiap bergerak juga batuk seperti ketika sholat yang banyak gerakan, dari ruku' ke sujud, atau dari sujud ke berdiri, maka otomatis akan batuk. Saya sangat tersiksa dan rasanya sulit sekali untuk bernafas lega.

Di hari keenam isolasi, kondisi semakin parah. Saat itu saya sudah tak bisa merasakan indera penciuman. Bahkan tidak bisa mengunyah dengan baik. Nasi jatah makan terasa sangat keras. Saya berusaha mengunyah tapi gagal. Kerongkonganku terasa sangat sakit. Berkali-kali berusaha mengunyah nasi, tapi tak bisa sampai akhirnya saya muntahkan kembali nasi yang masih utuh itu.

Saya sampai protes ke bagian gizi rumah sakit. Saya marah karena merasa mereka tidak memasak nasi dengan benar. Saya mengira koki Rumah Sakit lalai. Saya keluarkan semua uneg-uneg ini untuk meminta penjelasan.

Betapa kagetnya ketika mendapat penjelasan bahwa itu sebetulnya nasi tersebut lunak seperti biasa. Ketika pasien lain bisa mengunyah nasi dengan baik, nasi itu terasa keras bagi saya. Saya segera tersadar bahwa kondisi ini yang menyebabkan nasi terasa keras sehingga sulit untuk mengunyah sekaligus menelan. Mungkin cairan kelenjar tidak keluar sehingga fungsi saraf menelan terganggu. Virus ini mengganggu semua fungsi mulut dan tenggorokan.

Hari ketujuh masa isolasi merupakan puncak penderitaan. Batuk yang semakin parah, ditambah dengan komorbid penyakit diabetes. Memang, sudah dua tahun ini saya harus melakukan suntik insulin novomik. Saya hampir menyerah kalah. Beberapa sahabat juga berfikir demikian karena risiko orang yang diabetes terkena Covid-19 biasanya berujung kematian.

Tetapi, malam itu sekaligus penuh mukzizat karena saya mendapat kiriman plasma dari Jakarta. Beberapa hari sebelumnya saya memang memesan dua kantong plasma. Dengan meyakini plasma dan tosilizumab adalah wasilah terampuh mengobati COVID-19, malam itu saya mendapat injeksi 1 kantong plasma.

Disamping injeksi plasma, saya juga minta disuntik tosilizumab. Saya mengutamakan pengobatan medis daripada segala saran tak jelas tentang pengobatan alternatif. Saat kondisi kritis, saya berusaha berfikir logis karena pengobatan medis sudah teruji. Itulah mengapa saya ngotot minta suntikan tosilizumab yang harganya mencapai Rp8 juta. Alhamdulillah, saya bisa mendapatkan 1 tosilizumab yang sangat terasa khasiatnya bekerja dengan baik. Hanya selang 6 jam pasca suntikan, saya sudah bisa makan pisang. Padahal sebelum disuntik saya tidak bisa menelan, semuanya terasa begitu keras sampai membuat saya frustasi.

Di hari kedelapan, saya mendapat injeksi plasma yang kedua kalinya. Setelah itu saya tertidur selama 12 jam. Seluruh badan terpasang alat ekg, oksigen 5 liter, dan infus 2 jalur. Seharian itu saya hanya tertidur. Begitu terbangun, badan terasa lebih ringan dan segar. Batuk juga sudah berkurang banyak dan demam perlahan menurun.

Halaman:

Tags

Terkini

SMK Go Global dan Arah Pendidikan Kita

Senin, 8 Desember 2025 | 19:00 WIB

Ketika Budaya Masuk, Keyakinan Tersentuh

Senin, 1 Desember 2025 | 11:00 WIB

Kisah Desa Wisata yang Mencari Jalan Pulang

Senin, 1 Desember 2025 | 10:01 WIB

Judol, Ketika Kebebasan Berubah Menjadi Jerat

Jumat, 21 November 2025 | 14:20 WIB

Di Antara Idealisme dan Royalti

Rabu, 12 November 2025 | 06:00 WIB

Percakapan tentang Setetes Kehidupan

Sabtu, 1 November 2025 | 18:00 WIB

Jabat Tangan di Bawah Langit Islam

Senin, 13 Oktober 2025 | 20:35 WIB

Bandung di Persimpangan

Minggu, 5 Oktober 2025 | 20:00 WIB

Mimpi di Balik Gerobak

Rabu, 24 September 2025 | 09:45 WIB

Generasi Patah Sayap, Mimpi yang Terkubur

Senin, 15 September 2025 | 21:30 WIB

Saat Gizi yang Dijanjikan Membawa Nestapa

Jumat, 5 September 2025 | 12:30 WIB

Butiran Air Mata di Karung Beras

Jumat, 18 Juli 2025 | 17:00 WIB

Pak, Tahun Depan Aku Masih Bisa Ngajar, Nggak?

Selasa, 15 Juli 2025 | 10:30 WIB

Sungai Itu Masih Ingat Namamu

Sabtu, 12 Juli 2025 | 11:30 WIB

Sebuah Suara dari Desa untuk Negeri

Selasa, 1 Juli 2025 | 21:00 WIB

Cara Mendengar Suara Tuhan, Secara Mudah

Minggu, 29 Juni 2025 | 19:30 WIB