Oleh : Ummu Fahhala, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
Suatu siang yang teduh di Bandung, ruang penjurian Jawara Wisata Award 2025 dipenuhi suara orang-orang yang membawa mimpi besar. Di tengah keramaian itu, seorang lelaki paruh baya berdiri tegak. Dengan nada mantap, ia berkata,
“Kalau konsep desa wisata berhasil, maka masyarakat desa akan hidup lebih baik. Mereka tidak perlu pergi jauh mencari pekerjaan. Mereka bisa membangun desanya sendiri.”
Ucapannya menggantung di udara. Mereka yang hadir mengangguk pelan. Ada harapan yang memancar di mata mereka. Harapan tentang desa yang bangkit, desa yang menemukan sumber ekonominya, desa yang hidup kembali.
Baca Juga: Anggy Umbara Sutradarai Remake Gonjiam, Rumah Sakit Angker Korea Siap Hadir di Bioskop
Di saat bersamaan, laporan resmi Jawa Barat menegaskan arah ekonomi yang baru. Pemerintah menargetkan lonjakan PDRB sebagai bagian dari strategi menuju Indonesia Emas 2045. Desa menjadi salah satu fokus. Desa wisata pun diharapkan menjadi motor perubahan.
Namun, jauh dari ruang ber-AC dan layar presentasi itu, terdapat kisah lain yang berjalan perlahan. Kisah yang sunyi. Kisah yang jarang terdengar. Kisah yang menunggu untuk diceritakan.
Ketika Desa Mulai Ramai, Tapi Hati Mulai Sepi
Beberapa bulan kemudian, desa itu berubah. Jalan utama dipoles. Bale desa dicat ulang. Baliho besar bertuliskan “Selamat Datang di Desa Wisata Alam Sukahening” berdiri megah. Wisatawan datang. Motor menderu. Kamera-kamera berbunyi.
Masyarakat senang, setidaknya pada awalnya. Para pemuda bekerja sebagai pemandu wisata. Ibu-ibu membuka warung kecil. Namun, di balik itu semua, berdirilah beberapa bangunan milik investor luar. Mereka membangun vila, kafe modern, dan zona “instagramable” yang tidak dimiliki warga desa.
Baca Juga: Ipar Adalah Maut Kembali Viral, Tapi Kini Tersandung Teguran dari KPI
Pada suatu malam, saya duduk bersama seorang bapak tua di bawah lampu teplok. Ia berkata lirih, “Anak-anak muda sekarang bukan lagi bekerja untuk tanahnya sendiri. Mereka bekerja untuk orang kota yang menanamkan modal di sini.”
Saya terdiam. “Pak, apa desa tidak mendapat untung?” tanya saya.
Ia menghela napas panjang. “Ada, Nak. Tapi tidak banyak. Kita hanya bagian kecil. Wisata ramai saat liburan saja. Hari biasa, sepi. Kami kembali ke ladang, atau menunggu panggilan kerja.”